Adik Kecil Bernama Indonesia

Catatan renungan di kamar mandi

2019. Katanya dan faktanya adalah tahun politik. Katanya tahun ini politik dalam negeri sedang panas-panasnya, dan faktanya adalah aku muak dengan itu semua.

Aku muak ketika setiap hari yang diberitakan selalu soal politik, tidak di dunia nyata, dunia maya, semua yang dibahas melulu soal politik. Bahkan di kelasku pun, yang selalu diperdebatkan oleh teman-temanku adalah politik, selain kuliah dan rencana setelah lulus tentunya.

Aku muak. Muak sekali. Aku bosan setiap hari yang terdengar hanyalah nama-nama calon presiden dan wakil presiden. Tidak bisakah sehari saja semua orang di Indonesia tidak bicara soal politik? Ganti topik obrolan gitu? Sehari saja?

Memangnya kalian tidak bosan apa? Setiap hari teman-teman dan keluarga kita, bahkan masyarakat sekitar kita berdebat tentang siapa yang lebih berhak memimpin negeri ini, sampai seringkali saling caci maki, menghina, memfitnah, hoax, memangnya kalian tidak bosan?
Aku sungguh, dan benar-benar merasa bosan.

Ketika teman-temanku berkumpul waktu jam pelajaran kosong di kelas, dan mereka berdiskusi di pojok kelas, terlebih dahulu aku mencari apa topik pembicaraa mereka kali ini. Jika yang mereka bicarakan adalah soal pertandingan bola atau basket semalam, aku akan ikut nimbrung, tapi jika topik yang mereka bicarakan adalah politik, maaf lebih baik aku menyingkir. Mendengar kata politik saja, telingaku sudah panas.

Maka disinilah aku, mengasingkan diri dari hiruk-pikuk dunia politik tanah air, sekaligus membuang hajat dan mencari kedamaian dan kelegaan di dalam kamar mandi.

Disini, di kamar mandi aku merenungkan banyak hal. Berikut akan aku paparkan hasil renunganku selama di kamar mandi, jika kalian berkenan membaca, silakan, jika tidak, juga silakan. Tidak ada pemaksaan kehendak disini.

Jadi begini…

Politik di negeri ini aku analogikan degan sebuah keluarga.

Kita ini ibarat sebuah keluarga kecil, dengan kita sebagai seorang anak yang memiliki 3 saudara; 2 orang kakak dan seorang adik kecil. Anak yang paling besar, kakak kita yang pertama, bernama Pemerintah. Ya, Pemerintah. Adiknya, atau kakak kita yang kedua bernama Oposisi. Kita, anak ketiga bernama Masyarakat. Dan adik kita yang masih kecil bernama Indonesia. Inilah kita, 4 bersaudara yang seringkali bertengkar soal banyak hal didalam rumah.

Adik kita yang bernama Indonesia senang bermain bersama teman-temannya. Mereka bermain bersama di sebuah taman bernama Dunia, sebut saja nama teman-teman adik kita adalah Malaysia, China, Rusia, dan Amerika. Mereka bermain banyak hal, kadang bermain permainan ekonomi, bermain perang-perangan, bermain bola bersama, dan tidak jarang mereka juga memperebutkan sebuah mainan.

Nah, suatu hari ketika adik kecil kita sedang asyik-asyiknya bermain bersama teman-temannya, waktu itu mereka bermain balapan sepeda, karena adik kita adalah anak yang paling kecil, dan sepeda yang dinaikinya juga sepeda kecil, adik kita tertingal jauh dibelakang teman-temannya yang lain. Tapi hebatnya, adik kecil kita bernama Indonesia ini tidak mudah menyerah, ia kayuh sekuat tenaga sepeda kecilnya, sambil mencekeram stang sepeda dengan kuat-kuat.

Tapi karena kurang berhati-hati, adik kecil kita tidak memperhatikan kalau di depannya ada sebuah batu, kemudian adik kita menabraknya dan kemudian terjatuh. Adik kita terjatuh dari sepedanya, kakinya luka, tangannya lecet, dan ia semakin tertinggal olah negara, eh teman-temannya yang lain.

Kemudian, sambil menuntun sepedanya adik kita pulang kerumah. Sampai dirumah, kita, ketiga kakanya langsung menyambutnya didepan pintu, dan seketika itu adik kecil kita menangis. Ketiga kakanya bertanya apa yang terjadi dengan si adik kecil kita. Adik kecil kita menjawab kalau barusan dia kalah dalam perlombaan bersama teman-temannya dan kemudian terjatuh dari sepedanya dan mendapat luka di kaki dan tangannya.

Akhirnya, sang kakak yang paling besar, yaitu Pemerintah mengambil inisiatif untuk mengobati luka adiknya. Ia pergi mengambil kotak P3K mencari obat untuk adik kesayangannya. Kakak pertama tadi kembali, dan ternyata obat di kotak P3K sudah habis, sedang adik kecil kita menangis semakin kencang. Tidak berpikir panjang, sang kakak kedua bernama oposisi menawarakan opsi lain, ia menawarkan adiknya untuk diobati dengan obat-obatan tradisional, dengan memanfaatkan tenaman yang ada di kebun rumah, dengan memanfaatkan Sumber Daya Alam lokal milik keluarga. Tapi ternyata tidak semudah itu, sang kakak pertama yang tadi pergi mencari obat di kotak P3K tidak setuju dengan ide adiknya, kakak kita yang kedua. Ia tidak yakin dengan obatan-obatan yang ditawarkan oleh kakak kedua kita, dan lebih memilih untuk pergi ke warung membeli hansaplast untu adiknya yang masih menangis.

Si Oposisi, kakak yang kedua pun membantah. Katanya apa yang kita punya harus dimanfaatkan terlebih dahulu, lagian kita juga tidak punya uang untuk membeli hansaplast di warung. Kakak kita Si Pemerintah berkata bahwasanya kita bisa meminjam uang kepada tetangga kita terlebih dulu. Lagi-lagi Si Oposisi tidak setuju “Hutang keluarga kita sudah banyak, jangan ditambah-tambah lagi!” katanya. Si Kakak Pemerintah tidak mau kalah, katanya obat-obatan tradisional belum tentu mempan mengobati luka adik kecil kita.

Jadilah mereka berdua, Kakak Pemerintah dan Kakak Oposisi malah bertengkar di depan rumah, saling berdebat siapa diantara mereka yang lebih baik unuk mengobati luka adiknya, dan mereka berdua tidak ingin mengalah satu sama lain, sedang adik kita masih terduduk di dekat sepedanya, dan suara tangisnya semakin kencang.

Kita, Si Masyarakat, yang umurnya lebih muda daripada kedua kakak kita yang sedang berdebat, terdiam kaku di ambang pintu, sedih menyaksikan adik kecil kesayangn kita menangis kesakitan sementara kedua kakaknya malah berdebat dan bertengkar di halaman rumah.

Apa yang bisa kita lakukan?
Disinilah peran kita sebagai masyarakat, terlebih lagi kita para kaum muda para penerus bangsa. Kita tidak mahir meracik obat-obatan seperti kakak kita Si Oposisi, pun kita juga tidak punya uang untuk membeli obat di warung seperti kakak kita si Pemerintah. Tapi kita bisa berbuat satu hal. Kita bisa melakukan sesuatu hal daripada hanya berdiam diri menyaksikan adik kita kesakitan dan kedua kakak kita bertengkar. Apa itu?

Kita bisa menghibur adik kita, dengan keahlian yang kita miliki, kita bisa membuatkan adik kita sebuah mainan dari barang-barang seadanya yang kita miliki. Maka kita berlari ke dapur dan kemudian ke kamar, mencari barang-barang yang sekiranya bisa dirakit menjadi sebuah mainan untuk adik kecil kesayangan kita. Itulah yang bisa kita lakukan.

Memang, kita tidak bisa atau belum bisa mengobati luka adik kecil kita, tapi setidaknya kita bisa menghiburnya, sejenak menmbuatnya berhenti menangis. Kita bisa saja berpihak kepada salah satu kakak kita, ikut bertengkar dan membiarkan adik kecil kita menangis, tapi kita juga bisa berlari kedalam rumah, membuatkan adik kecil kita sebuah mainan, kita bisa berkarya dan menghentikan adik kita menangis. Kita bisa memperbaiki suasana dan menolong adik kecil kesayangan kita.

Maka, pilihan kembali kepada kita. Apakah kita memilih untuk ikut bertengkar bersama kedua kakak kita, saling caci dan maki di media sosial, saling menjatuhkan dan menyalahkan satu sama lain dan membiarkan adik kita menangis, atau kita memilih untuk mengembangkan potensi yang kita miliki, belajar lebih giat, berkarya, dan berprestasi, membuatkannya mainan untuk meredam sakit yang diderita adik kita. Kita bebas mimilih.

Tapi apakah kita tega menyaksikan adik kita menangis kencang di depan rumah, sementara ketiga kakaknya bertengkar disampingnya?

Haaah, itulah kawan renungan, atau lebih tepatnya dongeng yang tidak sengaja aku buat ketika melarikan diri dari teman-temanku dan semua perihal politik yang mereka bicarakan didalam kelas. Jangan terlalu serius, ini sekedar intermezo dari kamar mandi. Hahaha.

Sekali lagi kawan, jangan terlalu serius. Santai saja.

Tetapi pilihan itu tetap ada pada kita lho…

Hihihi…

Sudah senyum belum haru ini?

Tinggalkan komentar