Hidup Bersama Kartun #1

Salah satu cerita yang saya banggakan dan sering saya ceritakan ke teman-teman  adalah cerita masa kecil saya. Menurut saya, masa kecil saya unik dan berbeda dengan masa kecil teman-teman yang lain.

Saya sempat melaui masa kecil saya di hutan. Literally hutan. Hutan di pedalaman Sumatera yang luas,  pohon-pohonnya besar, dan rumah bagi banyak hewan liar. Saya lahir di Solo, tapi beberapa tahun kemudian Ayah memboyong saya dan Ibu saya ke Sumatera untuk tinggal bersama di lingkungan tempat kerja Ayah. Disana kami tinggal di mess, semacam kos bagi para karyawan di perusahan tempat Ayah bekerja. Sejak sebelum saya lahir sampai sekarang, Ayah saya masih bekerja di dalam hutan. Nggak tahu kenapa betah, padahal di hutan nggak ada sinyal.

November 2002

Jika teman-teman pernah membaca novel yang menceritakan sebuah tokoh yang tinggal di desa, kemudian sepekan atau sebulan sekali si tokoh pergi ke kota kecamatan atau kota kabupaten untuk keperluan jual beli, (saking desanya, bahkan menggunakan kata ganti kota kecamatan dan kota kabupaten) saya pernah merasakan masa-masa itu. Walaupun saya tidak benar-benar ingat, tapi dari cerita yang saya dengar, setiap sepekan atau sebulan sekali Ayah dan Mama membwa saya keluar hutan. Tujuannya beragam; ke pasar membeli keperluan sehari-hari, bertemu sanak famili, atau sekadar jalan-jalan melihat kota.

Sudah ada gambaran se-hutan apa kantor Ayah saya? Coba saya ceritakan lebih banyak lagi.

Sering dong melihat kucing ngudal-udal tempat sampah mencari makan. Nah, di tempat Ayah saya juga sama, tempat sampah di depan rumah juga ada yang ngudal-udal, bedanya hewan yang mencari makan disana bukan kucing, tapi orangutan. Orangutan yang dilindungi karena keberadaannya hampir punah itu. Saya juga sering menyaksikan monyet bergelantungan di jemuran belakang rumah, kancil, babi hutan, serangga-serangga yang aneh bentuknya, bahkan kata Ayah pernah ditemukan seekor beruang disana, kalau yang terakhir itu saya belum pernah melihat langsung dengan mata saya sendiri.

Hutannya benar-benar hutan. Jaraknya 4-5 jam perjalanan darat dari kota terdekat.

salah satu jalan di tempat kerja Ayah

​Jika saja waktu itu saya sudah lebih besar, mungkin saya akan tersiksa dengan rasa kesepian. Bagaimana tidak, tinggal di tengah hutan sehari-hari hanya bersama Mama dan Ayah, bahkan Ayah masuk kerja dari pagi sampai sore. Ada sih tetangga, tapi juga karyawan dan pegawai yang bekerja seharian. Seingat saya tidak ada anak seumuran saya disana, kalaupun ada mungkin hanya satu atau dua anak. Waktu itu umur saya masih tiga tahun, ingatannya terbatas.

Satu-satunya hiburan saya adalah televisi, walaupun susah sinyal beberapa saluran televisi masih tersedia, tentunya dengan kualitas seadanya alias bruwet. Saya punya banyak koleksi kaset film animasi. Nggak tahu kenapa saya selalu ingat rasanya menonton Teletubbies waktu itu. Kartun yang saya tonton pun beragam, dari Teletubbies sampai Superhero. Saya sudah menonton Batman dan Superman sejak umur tiga tahun. Saya ingat sekali pernah punya mainan Superman yang digantung di depan pintu dengan benang tipis, jadi seolah-olah si Superman tampak terbang. Tiga setengah tahun hidup di hutan, saya tidak punya teman bermain, teman-teman saya adalah Superman, Batman, Spiderman, Teletubbies, dan Power Ranger. Saya dibesarkan oleh kartun.

Rasa-rasanya tinggal di dalam hutan lah yang menyebabkan saya senang sekali menonton kartun, bahkan sampai sekarang saya sudah kuliah semester 5, ada kesenangan tersendiri setiap kali menyaksikan film-film kartun.

Selain kartun, hal lain yang saya dapat karena sempat tinggal di hutan adalah kegemaran saya kepada otomotif. Karena tinggal di tengah perusahaan kayu, setiap hari saya melihat truk-truk besar. Truk dengan roda banyak dan ukuran sebesar manusia dewasa. Apabila sedang tidak digunakan, saya sering merengek kepada Ayah untuk dinaikkan ke truk-truk itu. Dulu, setiap kali sebelum tidur saya selalu menata mainan mobil-mobilan saya di samping kasur, kalau tidak begitu saya tidak bisa tidur. Hobi ini berlanjut sampai saya masuk sekolah dasar. Bersama adik saya, kami mengoleksi hotwheels banyak sekali, saya letakkan rapi berjejer di bawah jendela kamar dari ujung ke ujung. Tapi kemudian koleksi hotwheels kami banyak yang hilang, salah satu sebabnya karena kami beberapa kali pindah rumah. Sekarang, walaupun nggak paham-paham amat soal otomotif saya selalu senang melihat mobil dan motor. Ayah juga punya andil besar ‘meracuni’ saya otomotif, saya senang setiap kali diajak melihat-lihat mobil di show room, pameran mobil dan motor klasik, bahkan sampai ke pasar yang menjual part-part mobil bekas untuk mencari jok mobil.

kolektor mobil

Balik ke kartun. Ketika mulai masuk sekolah saya akhirnya kembali ke Solo, karena tidak mungkin bersekolah di hutan. Di hutan tidak ada sekolah. Bersekolah dan bertemu teman-teman baru menjadikan saya tahu banyak hal baru, termasuk kartun-kartun baru. Tontonan saya tidak lagi hanya Power Ranger dan Superhero, saya mulai mengenal Anime. Naruto. Komik Naruto pertama saya, saya dapatkan ketika kelas 1 SD. Sejak itu saya senang membaca komik dan mulai mengoleksi komik Naruto. Lagi-lagi karena berpindah-pindah rumah, kegiatan mengoleksi komik saya terhenti, selain itu saya juga melanjutkan jenjang SMP di pesantren. Di pesantren tidak boleh membaca komik. Tapi koleksi komik saya banyak juga, dari volume 21, cerita awal Sasuke kabur dari desa sampai perang Shinobi. ​​Belum lagi koleksi komik-komik ​saya ​yang lain.​Semua tersimpan rapi di lemari buku. ​

Saya cukup banyak menikmati kartun-kartun asal Jepang, baik menonton anime atau membaca manga. Saya ingat sekali pernah menamatkan manga Captain Tsubasa ketika SD, waktu itu sedang libur panjang dan setiap dua hari sekali saya berkunjung ke tempat persewaan buku. Saya hampir menyelesaikan anime Hunter x Hunter (kurang beberapa episode) ketika SD, bahkan sampai sekarang saya masih mengikuti manga Detective Conan. Walaupun jarang-jarang karena saya mengikutinya melalui buku komik, bukan komik digital. Saya lebih suka menikmati buku secara fisik dibanding digital. Terbaru, awal pandemi kemarin saya sempat meyaksikan salah satu seri Gundam, tapi lagi-lagi tidak saya lanjutkan. Saya tidak tahu banyak soal anime, saya adalah golongan minoritas yang hidup ditengah-tengah sobat wibu. Dulu, ketika teman-teman saya ngobrolin anime saya masih relate. Kini, saya merasa terasingkan karena jauh dari anime dan hal-hal Jejepangan lainnya.

Berbeda dengan kartun-kartun Jepang, kebersamaan saya dengan kartun-kartun asal Amerika bertahan lebih lama, bahkan sampai sekarang. Walaupun saya sempat berhenti mengikuti perkembangan Superhero dalam waktu yang cukup lama, pada akhirnya saya tetap menjadi penggemar film-film Superhero yang tidak akan melewatkan berita terbaru tentangnya sedikitpun. Kenapa hal yang sama tidak terjadi pada Naruto dan kartun-kartun Jepang lainnya? Menurut saya salah satu alasannya adalah; mungkin karena saya tumbuh besar bersama para Superhero asal Amerika. Saya lebih dulu mengenal Superman dan Batman, Kura-kura Ninja, termasuk Bugs Bunny dan kawan-kawannya dibanding mengenal keluarga besar saya. Saya berkali-kali mendengar cerita bagaimana saat pertama kali saya berkunjung ke rumah Eyang setelah akhirnya keluar dari hutan, saya menolak masuk rumah Eyang dan berteriak-teriak sambal menangis kencang sekali, saya merasa asing dengan orag-orang disana, kata saya waktu itu “Ini bukan rumahku”. Wkwkwkwk.

Mungkin karena kartun-kartun Amerika lebih dulu hadir di hidup saya dibanding anime-anime Jepang, dan karena waktu itu saya masih kecil dan belum mengenal apa-apa, mungkin ingatan dan pengalaman tentang kartun-kartun Amerika tadi menancap sangat dalam di pikiran saya.

Saya tidak mengatakan saya adalah orang yang paling paham soal Superhero dan kartun-kartun lainnya, bahkan saya baru membaca komik DC dan Marvel setelah lulus SMA, karena harga komiknya mahal dan tidak diperjual belikan di toko buku-toko buku pada umumnya (Satu buku komiknya yang paling murah setara dengan biaya layanan indihome sebulan). Walau demikian saya merasa punya hubungan yang dekat dengan para tokoh fiksi tersebut, akan terasa sangat personal bagi saya jika membicarakan Spiderman dan Batman, bahkan sampai sekarang beberapa kali saya berkhayal bagaimana jika seandainya saya adalah seorang superhero. Terdengar konyol tapi memang begitu adanya. Kegemaran saya menonton kartun, menyebabkan saya punya hobi menggambar.

Saya sangat bersyukur sekali sampai sekarang diberi rasa betah menyaksikan beragam film fiksi dan kartun. Sebelum pandemi, setiap kali jadwal kuliah saya masuk siang, saya rajin mengulang kebiasaan yang sering saya lakukan Ketika dulu SD; makan sambal nonton kartun. Kalau dulu tontonannya SpongeBob dan Chalkzone, kini sarapan saya ditemani We Bare Bear dan Adventure Time. Setiap hari saya meluangkan waktu untuk menonton film kartun, satu episode setiap harinya atau minimal potogan-potongan adegannya melalui YouTube dan Instagram.

Kegemaran saya mengoleksi mainan terbawa sampai sekarang. Saya suka sekali mengoleksi sesuatu, entah itu mainan atau benda lainnya. Saya ingin sekali mengoleksi mainan (lagi) tapi karena ekonomi saya belum stabil saya harus bersabar. Untuk menyiasatinya saya mengoleksi gambar-gambar tokoh kartun favorit saya, entah itu saya gambar sendiri atau potongan-potonga komik yang say abaca di Internet. KIni kamar saya dikelilingi wajah-wajah Superhero.

Saya pernah melakuka hal yang unik, ceritanya saya sedangmenonton ulang semua film Transformes, setiap kali muncul sebuah robot saya hentikan filmnya, kemudian mencatat nama robot tersebut serta jenis kendaraan transformasinya. Amat buang-buang waktu bukan? Padahal saya bisa mencarinya melalui Google atau Wikipedia, tapi hal itu tetap saya lakukan. Alasannya? Karena menghafal nama-nama tokoh fiksi saya anggap bagian dari hobi mengoleksi saya. Mengoleksi pengetahuan (Goblok. Pengetahuan kok nama-nama robot). Tapi saya menikmatinya, hal sesederhana itu sudah cukup membuat saya bahagia.

Hidup saya tidak bisa dipisahkan dengan kartun. Selain menabung, sekarang saya sedang mencatat daftar mainan apa saja yang kelak akan saya beli dengan uang saya sendiri. Punya banyak koleksi mainan adalah salah satu mimpi saya sejak kecil, akan sangat spesial jika kelak saya bisa ‘membeli’ teman-teman masa kecil saya dengan uang hasil kerja keras saya sendiri.

Di hadapan kartun, saya akan selalu menjadi anak kecil, tertawa di setiap adegan lucunya, dan tersenyum setiap mendegar dialog unik para tokohnya. Saya ada di barisan orang-orang yang menyaksikan film Avengers: End Game di jam pertama dan hari pertama tayang di kota saya, saya berteriak kencang bersama dengan mereka yang berdiri dan mengepalkan tangannya ketika Captain America mengangkat Mjolnir, sampai sekarang saya masih betah menyaksikan Tom and Jerry, SpongeBob, dan Looney Tunes, ketika trailer Spiderman: No Way Home dirilis, saya girangnya bukan main, bahkan sampai saya ulang berkali-kali. Lebay, memang. Tapi bukannya kita berhak lebay atas obsesi kita masing-masing? Dan dartun adalah salah satu obsesi terbesar dalam hidup saya.

Selain kasih saying orang tua, saya juga dibesarkan oleh kartun. Tokoh-tokon animasi di dunia kartun berhasil membentuk mindset saya agar selalu percaya dengan harapan dan membentuk presepsi bahwa hidup itu seru dan menyenangkan.

dulu saya adalah fans berat Power Rangers

(Bersambung ke bagian #2)

Tinggalkan komentar