Lobster Tidak Punya Dokter

Pernah mendengar cerita tentang bagaimana lobster tumbuh?

Lobster adalah hewan lunak dan lembek yang hidup sehari-hari berlindung di dalam cangkang yang keras. Cangkang itu tidak bisa membesar. Seperti hewan pada umumnya, lobster mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Lobster kecil tumbuh menjadi lobster berukuran besar. Lalu bagaimana lobster kecil bisa menjadi besar, sedangkan cangkangnya tidak bisa berubah ukuran? Tiap kali tubuh lobster membesar, ia akan kesakitan dan merasa tidak nyaman. Cangkangnya akan penuh sesak karena tubuh lobster semakin membesar. Apa yang dilakukan lobster? Ia akan pergi ke bawah tumpukan batu karang, bersembunyi disana, berlindung dari pemangsanya, melepaskan diri dari cangkangnya yang sesak, sambil memproduksi cangkang yang baru. Begitu seterusnya ia lakukan sampai si lobster kecil berubah menjadi lobster besar.

Atau pernah dengar cerita tentang reinkarnasi burung Elang? Yang biasa dibacakan di acara-acara motivasi?

Ketika usianya mencapai 40 tahun, seekor Elang punya dua pilihan; membiarkan dirinya lemah dan pelan-pelan mati, atau dia bisa tetap hidup tapi harus melalui proses reinkarnasi. Ketika elang memilih untuk tetap hidup, ia harus susah payah terbang ke puncak gunung, membuat sarang dan melakukan proses reinkarnasi. Elang tadi akan mencabut bulunya sendiri satu-persatu, mematahkan cakar dan paruhnya, kemudian menunggu sampai cakar, paruh, serta bulu-bulu barunya tumbuh. Proses itu dilakukan Elang selama kurang lebih 150 hari. Setelah 150 hari si elang tadi menyelesaikan proses reinkarnasinya, dan terbang sebagai burung elang baru yang mampu hidup sampai 30 tahun lagi.

Selalu menarik ketika manusia bisa menemukan cerita-cerita seperti tadi. Cerita-cerita yang dijadikan penyemangat jika kita lelah, dirundung banyak masalah, dan bahkan stress. Jika lobster punya dokter, setiap jail kesakitan ia akan pergi ke dokter, tapi lobster tadi tidak akan menjadi besar. Jika burung Elang memilih menyerah, ia tidak lagi bisa hidup dan terbang bebas selama 30 tahun kemudian. Elang dan Lobster sama-sama mengalami rasa sakit untuk tumbuh. Setiap kali stress karena banyak masalah, setiap kali merasakan hidup yang tidak nyaman, rasakan juga itu adalah sinyal bagi kita untuk tumbuh. Begitu kan, cara ceritanya?

Pertanyannya, apakah lobster dan elang memang memilih untuk tumbuh? Apakah mereka memilih untuk merasakan sakit agar bisa menjadi lebih kuat? Saya tidak tahu karena saya belum pernah ngobrol langsung. Tapi, kemudian apakah lobster dan burung elang diciptakan untuk menjadi motivasi dan penyemangat bagi manusia? Tidak dong. Lobster kan diciptakan untuk dimakan.

Lobster dan elang tidak pernah diciptakan untuk motivasi, siklus hidup mereka tidak direncanakan sebagai hikmah bagi manusia. Manusialah yang berinisiatif mengamati, meneliti, dan menjadikan siklus hidup mereka sebagai pelajaran. Ada banyak cerita lainnya, yang benar adanya atau bahkan yang dibuat-buat oleh manusia untuk tujuan pelajaran dan motivasi bagi dirinya. Contoh yang dibuat-buat: Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Saya belum pernah mendengar ada hukum alam yang mengatakan bahwa syarat untuk sukses adalah gagal. Gagal ya gagal aja, Banyak kok, orang yang sukses tanpa diawali dengan kegagalan. LeBron James menonjol di basket sejak SMA sampai sekarang. Banyak juga orang yang gagal, berkali-kali malah, kemudian setelahnya mereka menjadi sukses. Orang-orang ini lah yang mempercayai cerita gagal pangkal kaya. Dari mereka juga akhirnya cerita yang awalnya dibuat-buat tadi dianggap sebuah kenyataan dan siklus hidup.

Kebiasaan manusia menceritakan hal-hal demikian, menandakan dua hal; satu, bahwa manusia penuh keterbatasan. Yang kedua, manusia tidak menyerah dengan keterbatasan mereka. Cerita-cerita tadi diceritakan oleh manusia untuk memotivasi, untuk membuat dirinya kembali semangat dan melanjutkan hidup, untuk menghibur diri sendiri dan orang lain agar nggak sedih-sedih amat. Cerita-cerita tadi diulang-ulang agar manusia mau menerima kenyataan yang tidak mereka senangi, menerima kegagalan, menganggap bahwa kegagalan itu berguna dalam hidup, menerima kenyataan serta takdir Tuhan. Saya sedih karena saya gagal, tapi kemudian saya senang karena sebentar lagi saya sukses, kan kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Padahal gagal saya belum tentu disebabkan karena saya akan sukses, bisa jadi karena saya goblok.

Ada satu cerita yang sering diulang-ulang ketika dulu saya masih mondok. Jadi, setiap hari dari Senin sampai Sabtu, kami para santri diwajbkan untuk setoran hafalan dua kali dalam sehari. Pagi dan sore. Dari sekian santri, selalu ada santri-santri yang setiap setoran hafalannya selalu lancar, tapia tidak sedikit santri-santri yang sulit dalam menghafal, alhasil ketika setoran mereka terbata-bata. Santri-santri ini harus meluangkan waktunya untuk membaca Quran lebih banyak dibanding santri-santri yang hafalannya lancar. Karena untuk lulus, para santri harus mencapai standar kelulusan, guru-guru di pondok sering melecut semangat mereka, bukan dengan kalimat-kalimat; “Semangat, ngajimu harus lebih banyak”, atau “Kamu tahu kamu kesulitan menghafal, usahanya harus ditambah lagi”. Bukan. Melainkan dengan sebuah cerita, yang cukup sering saya dengar selama 6 tahun saya hidup di pondok. Cerita yang sama dengan cerita elang dan lobster, Cerita-cerita yang dijadikan untuk pembenaran atas kegagalan atau fase hidup sulit yang dialami manusia.

“Ada anak-anak yang mudah setorannya, lancar bacaanya, ada juga yang kesulitan. Bagi yang kesulitan, bacanya harus lebih banyak lagi, diulang lebih sering lagi. Mungkin karena Allah seneng dengerin kalian  baca Quran, kalian dibikin sulit ketika menghafal. Biar kalian ulang-ulang terus, biar Allah denger kalian ngaji terus”.

Ngomong-ngomong soal santri, beberapa kali saya ditanya (bahkan baru kemarin saya ditanya oleh teman saya), ‘kebiasaan apa yang dulu dilakukan di pondok dan masih kamu lakukan sampai sekarang?’

Selain ditanya oleh orang-orang, saya sendiri merasa harus punya kebiasaan yang selalu saya lakukan sejak di pondok, saya tidak ingin 6 tahun saya di pondok hilang begitu saja tanpa bekas, tapi saya selalu meragukan diri saya sendiri. Di pondok saya bisa hidup cukup disiplin, sekarang hidup saya sak-sak e, dzikir pagi sore sering lupa, wirid seberes solat juga bolong-bolong, amalan-amalan lain pun sering saya tinggalkan.

Akhirnya saya menemukan satu. Kebiasaan yang diajarkan kepada saya di pondok dan harusnya bisa saya lanjutkan sampai sekarang. Kebiaasaan itu adalah berprasangka baik. Bahasa santrinya, husnudzon.

Setiap kali saya gagal, saya bisa menyimpulkan bahwa kegagalan saya bersumber dari keterbatasan diri saya, dan itu fakta, tapi saya juga berhak untuk menyimpulkan bahwa saya selangkah lebih dekat dengan kesuksesan. Merapal mantra ‘kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda’ yang entah darimana asalnya. Ketika saya stres, hidup rasanya tidak nyaman, penuh tekanan, saya berhak untuk kecewa dan menyalahkan keadaan, tapi saya juga berhak untuk mengulang-ulang kembali cerita lobster dan elang. Rasanya akan sangat melelahkan jika hidup dihabiskan dengan sedih dan kecewa. Nggak mudah-mudah amat, tapi layak dicoba. Mencoba memaksa diri saya untuk menerima kenyataan, menganggap kegagalan adalah hal yang berguna, mengulang-ulang cerita, mencari alasan-alasan pembenaran dibalik kegagalan dan ketidaknyamanan, dan berprasangka baik. Menganggap semua hal yang terjadi, baik dan buruknya semua berguna bagi hidup saya sendiri.

Sekarang saya punya jawaban untuk setiap pertanyaan, kebiasaan apa yang dulu dibiasakan di pondok dan masih saya (coba) lanjutkan sampai sekarang? Kebiasaan mengelilingi diri dengan hal-hal baik. Mengulang-ulang cerita bagaimana lobster tumbuh dan bagaimana burung elang bereinkarnasi.

Selamat hari santri!

Tinggalkan komentar