Menilai dengan Angka

Belakangan, saya sering  mendapat ‘ceramah’ dari teman-teman saya mengenai salah satu fenomena yang akhir-akhir ini sedang ramai; tren bermain saham.

Atau reksadana, kripto, bitcoin, apapun itu namanya.

Tidak hanya sekadar ceramah, sebagian dari teman-teman saya memang bermain saham. Saya berkali-kali melihat mereka memainkannya, dengan aplikasi di hp yang saya tidak paham bagaimana cara membacanya. Aplikasi itu menunjukkan sebuah diagram batang berwarna-warni, di dalamnya ada grafik yang selalu bergerak naik turun, diikuti dengan angka-angka yang berubah di sampingnya. Sambil melihat grafik itu saya mendengar teman saya bercerita sambil sesekali menunjuk diagram di layar hp miliknya.

Hampir semua yang dibicarakannya saya tidak paham, jangankan istilah-istilah aneh yang baru saya dengar, melihat dan mendengar banyak angka saja saya sudah malas. Pusing. Satu yang saya pahami, kalau semua hal diatas tadi adalah soal uang. Ada satu kesamaan dari semua ceramah tentang saham yang pernah saya dengar dari teman-teman saya, mereka sama-sama meyakinkan saya kalau saham itu menjanjikan. Duitnya banyak. Bahkan sampai jutaan. Nggak perlu capek-capek kerja, cukup rebahan dan memantau diagram-diagram tadi kita bisa dapat untung.

Apakah saya tergiur? Tentu. Siapa yang tidak ingin dapat uang banyak dengan cara yang gampang. Tapi hal itu tidak serta-merta membuat saya menjajalnya. Saya masih belum yakin apakah memang se-simpel itu, dan saya pusing melihat banyak angka. Ya karena memang saya belum tahu ilmunya, tapai kalau saya pikir-pikir, kayaknya bakal ruwet, deh.

Ceramah yang awalnya hanya seputar saham dan aplikasinya, lama-lama berkembang ke arah yang lebih luas. Teman saya malah jadi ngomongin pasar, jual beli, tenaga kerja, rupiah, dolar, kurs jual dan kurs beli, hutang negara, orang-orang kaya, perusahaan, buruh, korupsi, pejabat, investasi, ekonomi global, masa depan, masa lalu, orde baru, penjajahan, Belanda, Jepang, Pearl Harbour, Amerika, NASA, sampai alien.

Benar saja, perkara saham dan investasi ini sepertinya rumit, walaupun teman-teman saya mengatakan sebaliknya. Jika saya tahu ilmunya mungkin saya akan mengatakan hal yang sama. Tapi tetap saja belajar saham berarti saya harus melihat dan mendengar banyak angka, dilihat dari obrolannya saja, ini adalah sesuatu yang besar dan kompleks.

Saya ingat dengan salah satu wawancara sastrawan favorit saya (dan juga favorit banyak orang), Andrea Hirata. Ia pernah bercerita bagaimana pengetahuan tentang sastra mengubah caranya menulis. Novel pertamanya, Laskar Pelangi ditulisnya dalam waktu kurang lebih satu bulan. Tiga pekan bisa dapat 700 halaman. Sementara novelnya yang lain, Sirkus Pohon bahkan butuh waktu sampai empat tahun untuk menyelsaikannya. Penyebabnya adalah, ketika menulis Laskar Pelangi, Andrea Hirata belum punya pengetahuan soal sastra, tapi ketika menulis Sirkus Pohon, Pak Cik sudah punya banyak ilmu, belajar dari berbagai guru sastra di seluruh dunia. Katanya, banyak tahu akan banyak bingung.

Saya orang yang percaya dengan perkataan “Ignorance is a bliss”. Ketidaktahuan adalah anugerah. Perkara saham dan investasi ini sepertinya begitu. Kayaknya akan lebih baik saya tidak tahu dan tidak mencari tahu tentangnya. Walaupun dengan belajar dan mencari tahu saya akan paham. Tapi rasanya, ada hal-hal lain yang harus lebih dulu diberi perhatian lebih dibandingkan saham dan investasi ini. Belum lagi, saya tidak siap jika harus ngobrol dan berdiskusi soal ekonomi-ekonomi dengan istilah yang sulit diucapkan itu.

Belum khatam saya mendengarkan ceramah bertema saham dan kripto, muncul lagi tren baru yang tidak kalah membingungkan. NFT. Non Fungible Token kepanjangannya. Penjelasannya? Saya tidak tahu. Yang ini lebih menarik lagi. Melihat sekilas postingan tentang NFT ini saya kira ini adalah platform untuk menjual karya kita, karya apapun berbentuk digital bisa di unggah disana, dan siapa pun yang berminat bisa membelinya. Setelah saya baca lebih lagi, ternyata tidak sesederhana itu. Ternyata masih ada kaitanya dengan saham-saham kripto tadi, pantas saja nominalnya besar. Bahkan satu karya visual bisa dihargai sampai ratusan juta.

Baru-baru ini viral seseorang yang rutin mengambil foto selfie dirinya setiap hari dari tahun 2017 dan menjual semua foto itu dalam bentuk NFT. Pertama, ke istiqomahan mas ini untuk selfie setiap hari perlu diacungi jempol. Kedua, lebih hebat lagi karena kepikiran dijual dalam bentuk NFT. Ketiga, kok ya ada aja yang beli.

Kali ini, keinginan saya untuk belajar dan mencari tahu lebih soal NFT lebih besar. Selain ternyata menghasilkan duit, NFT juga bisa jadi sarana memamerkan karya. Karyamu dilihat banyak orang aja udah bikin seneng, apalagi diapresiasi, apalagi sampai dibeli, pakai dolar lagi! Ditambah lagi beberapa teman yang saya kenal hobi membuat karya visual juga mulai menjual karya-karya mereka melalui NFT, setelah saya melihat karya-karya mereka makin besar keinginan saya untuk mencoba, ‘kayaknya karya saya nggak kalah keren deh, bisa kali coba’.

Lagi-lagi, banyak hal yang jadi pertimbangan yang mencegah saya belajar dan mengunggah karya di NFT. Selain keterbatasan ilmu dan saya memang aras-arasen buat mencari tahu, (Masih yang tadi, ignorance is a bliss) saya juga takut kalau-kalau nanti focus saya akan berubah. Bukan lagi memamerkan karya, tapi mencari keuntungan.

Nggak ada salahnya. Sama sekali tidak ada. Kalau memang karyamu diminati orang lain, apa salahnya menerima keuntungan sebagai bentuk apresiasi? Tapi bagi saya ini terlalu besar, ditambah saya yang sedang dalam fase mencari diri sendiri; belum yakin mau kemana, mau berbuat apa, mau jadi apa. Alit Susanto, seorang konten creator pernah ngomong, “Salah satu tanda bahwa kita sudah kehilangan diri kita yang sebenarnya, adalah saat kita mulai menilai semua hal dengan angka”. Kutipan ini saya tempel di tembok kamar saya. Karena saya takut. Saya takut di tengah jalan menemukan diri saya sendiri, saya justru kehilangannya, kehilangan diri saya sendiri dan mulai menilai semua hal dengan angka. Semua karya yang tidak dihargai dengan nominal yang banyak akan saya singkirkan. Semua karya yang sedikit peminatnya akan saya tinggalkan. Lagian hasil karya saya baru segitu doang.

Sok-sokan, memang. Saya merasa diri saya benar. Bisa jadi, besok sore saya melanggar semua perkataan saya. Bukan tidak mungkin besok atau pekan depan saya berpendapat yang sebaliknya, siapa tahu besok sore saya mengunggah NFT pertama saya. Siapa tahu. Tapi bukan masalah, yang namanya hidup, kan ya. Kebenaran kita sekarang adalah kesalahan kita yang belum tahu. Mungkin itu memang ketakutan saya, atau mungkin itu alasan yang saya buat-buat karena saya malas.

Soal NFT, saham, kripto, dan duit memang tidak akan ada habisnya. Apalagi kita belum ada ilmunya. Saya juga makin capek mikir, akhirnya saya memutuskan mengambil jalan pintas: mengambil kesimpulan atas dasar sok tau.

Entah fenomena-fenomena belakangan ini memang wajah masa depan kita, atau sekadar karena orang-orang kaya bingung bagaimana cara menghabiskan uang mereka, akhirnya mereka bikin NFT dan sejenisnya. Tapi mau tidak mau, dunia kita bergerak ke arah sana, menuju serba virtual. Sepuluh dua puluh tahun lagi mungkin kita tidak butuh ruang untuk hidup, semua sudah tersedia secara virtual. Dan dunia virtual semakin hari semakin gila! Bisa-bisanya foto selfie di hargai jutaan rupiah, padahal kalau dipikir-pikir kan bisa klik kanan save image ya?

Uang kertas dan koin misalnya, kok bisa selembar 100 ribu berbeda nilainya dengan selembar 20 ribu? Padahal kan sama-sama selembar kertas ya, beda warna sama gambarnya doang. Yang menyebabkan nilainya berbeda? Keyakinan. Keyakinan kita dan semua orang sebelum kita bahwa kertas bergambar pahlawan adalah alat tukar yang sah, ada yang nilainya dua ribu, 20 ribu, 100 ribu. Gimana kalau keyakinan ini kita reset. Kita kumpulin semua orang se-Indonesia, ‘Teman-teman gimana kalau kita buat kesepakatan, mulai sekarang 20 ribu dan 100 ribu nilainya sama, Cuma warnanya aja yang beda’ Mungkin kan, mungkin dong. Tapi kayaknya nggak bakal.

Itu baru uang kertas, yang bisa kita pegang dan masukin dompet. Lha terus gimana kalau besok semuanya serba virtual, uang kertas dan koin sudah tidak berlaku lagi. Kekayaan kita diukur dengan berapa jumlah nominal yang tertulis di layar hp kita. Bayangkan, besok di masa depan kita yakin kalau deretan angka-angka di layar hp bisa buat beli makan. Makin aneh, kan.

Saya tidak tahu teorinya, tidak tahu ilmunya, Yang saya tahu semakin kesini dunia semakin menunjukkan sifat aslinya: fana.

Tinggalkan komentar