Jika Oasis adalah Agama dan Bukan Sebuah Band

Don’t look back in anger bukan lagu tentang cinta, bahkan Sally bukan siapa-siapa. Mendengarkan Oasis seperti melihat sebuah lukisan non representatif, lirik-lirik Morning Glory adalah omong kosong, Noel dan Liam tidak bercerita soal kehidupan, lingkungan, atau kesehatan mental, lagu-lagu mereka tidak bercerita soal cinta, lagu mereka adalah cinta itu sendiri. Jangan letakkan hidupmu pada sebuah band rock, bukan, Oasis bukanlah band rock n roll, Oasis adalah agama.

Entah gimana ceritanya aku bisa se-seneng itu sama Oasis, gatau lupa gimana ceritanya. SMP awal-awal sering dengerin musik dibuat geleng-geleng sama pop punk. All Time Low, Simple Plan, dan pastinya Blink 182 beserta segenap turunannya. Makin lama geser dan akhirnya sekarang nyaman sama Rock khususnya Oasis. Dan cuma Oasis.

Aku bukan tipe orang yang playlist nya serba 90an atau lagu-lagu jadul, bukan juga orang yang dikamarnya penuh poster gitaris-gitaris tahun 80-90an, apalagi yang kemana-mana pake kaos item gambar band celana item pake gelanag banyak. Bukan.

Semua berawal dari statement: “Ngakunya ngefans Avenged taunya cuma Dear God, ngakunya fans Oasis taunya cuma Don’t Look Back In Anger” Aku jadi bingung. Ya walaupun nggak mendeklarasikan diri sebagai fans Oasis waktu itu, tapi lha apa salahnya, emang Don’t Look Back In Anger enak buat dinyanyiin bareng, saking enaknya bahkan pada bilang lagu ini adalah lagu kebangsaan kedua Inggris, sampe dinyanyiin suporter Inggris ketika Piala Dunia 2018 Inggris melawan Perancis.

Dari bingung kemudian jadi penasaran, dari situlah mulai dengarin lagu-lagu Oasis yang lain. Wonderwall, Stand By Me, Supersonic, Champagne Supernova. Dari situ jadi merembet dengerin band-band Hits sejenisnya. Aerosmith, Nirvana, Guns N Roses, dan kawan-kawan. Tapi tetap Wonderwall sama Stand By Me nya Oasis nggak pernah absen dari playlist.

Semakin banyak dengerin band-band lain, saat itu juga aku ‘semakin Oasis’.

Oasis berbeda dengan Guns N Roses, Nirvana, Metallica, Red Hot Chili Peppers, Blink 182, ataupun Greenday. Penampilan Oasis nggak senyentrik mereka, rambut gondrong, tatto dari atas ke bawah, skinny jeans sobek-sobek, jaket kulit gahar, sepatu bot tinggi, panggung yang hectic penuh gambar-gambar sangar, dan segala macam atribut lainnya yang mencolok macam topi sulapnya gitaris Guns N Roses, Slash. Oasis lebih kalem dan rapi; sepatu casual adidas, jaket parka, sweeter, gaya rambut biasa, kacamata bulat layaknya John Lennon, yang paling nyentrik pol-polan cuma tamborin milik Liam Gallagher. Musik milik Oasis juga beda, nggak melulu yang bikin jingkrak-jingkrak dengan gebukan drum layaknya orang kesurupan, lirik-liriknya juga nggak 18+ amat. Nggak sama sekali malah.

Realita-realita itu perlahan-lahan terlihat cocok sama aku yang culun segan macho tak mau. Yang bukannya keren kalau manjangin rambut kayak temen-temen, malah nggak pantes dan makin culun, pake jaket jeans bukannya Rebel tapi kegedean jadinya malah kayak anak kecil pake mantel, nyerempet ke indie-indie dikit, gaya-gayaan minum kopi nggak kuat sama pahitnya, emang udah paling bener minum susu sambil ngemil Biskuat apa Hello Panda.

Meski begitu, Oasis bukan band yang culun. Liam Gallagher menolak dikatakan bahwa Oasis adalah band britpop, ya sebelum dunia dibuat gaduh oleh Kpop, terlebih dahulu sudah ada Britpop (Britanian Pop), kata Liam, musik Oasis bukan pop, Oasis adalah rock.

Menariknya lagi lagu-lagu Oasis berisi lirik-lirik yang puitis, dan itu ditulis dan dinyanyikan oleh Gallagher bersaudara. Hard to believe a couple of drunken hooligans rockstar could right such poetry!

Who kick a hole in the sky so the heaven would cry over me?
Who stole the heart from the sun in a world come undone at the seams?

Jika Oasis adalah agama, maka aku adalah satu dari sekian orang yang masih ‘terbelenggu dengan ortodoksi agama’, terjebak dengan romantisme masa lalu, ketika teman-teman lain antusias ketika musisi favorit mereka merilis single dan album terbaru, berkolaborasi dengan ini dan itu, konser tur kesana kemari, aku hanya bisa berandai-andai kapan kiranya Oasis bisa berkumpul lagi, minimal Noel dan Liam berada dalam satu panggung yang sama dalam keadaan tidak saling membenci.

Jika terlalu jauh untuk menyebut Oasis adalah sebuah agama, mungkin lebih tepat jika menyebut Oasis adalah sebuah kultur (untuk tidak menyebutnya sebagai sekadar band), Oasis menjadi inspirasi bagi banyak orang dan band-band yang lahir setelahnya, berdampak besar tidak hanya bagi industri musik tapi juga bagi dunia. Konser mereka tahun 1996 di Maine Road ditonton oleh seperempat juta penduduk Bumi pada waktu itu.

Lirik-lirik lagu Oasis bercerita tentang harapan dan merayakan hidup, lahir di tengah lingkungan pekerja di kota Manchester menjadi inspirasi Noel menulis lagu-lagu yang membawa semangat. Berbeda dengan Kurt Cobain dan Nirvana yang memunculkan budaya hedonis radikal dan meng-glory-kan depresi, Oasis menawarkan harapan dan kebahagiaan, bahwa untuk berkarya dan mengekspresikan diri kita tidak harus depresi terlebih dahulu, bahwa selain alkohol dan narkoba, bangun di pagi hari dibawah langit yang merah sambil menyantap sarapan juga adalah hal yang sangat rock n roll.

Liam dan Noel Gallagher masih bermusik setelah Oasis bubar, lagu-lagu mereka sedikit banyak berbeda dengan Oasis, tapi mereka akan selalu dikenal dengan Oasis, dengan start revolution from my bed nya, Oasis yang you’re gonna be the one that saves me. Oasis yang making peoples life better since 1994. Oasis bukanlah agama, lagu-lagu mereka tidak perlu ditafsirkan secara benar, semua orang diberi kebebasan memaknai sesuka hati mereka.

Seperti bakso pedas di tengah hujan, siomay panas di sore hari, es krim yang selalu menyegarkan di siang hari setelah beraktivitas, atau soto ketika sarapan, atau bahkan gudeg ceker yang selalu pas disantap dini hari atau setelah sholat subuh, lagu-lagu Oasis masih dan akan selalu menyenangkan untuk di dengar kapanpun.

She’s Electric selalu cocok dinyanyikan sambil menggosok gigi pagi-pagi, Some Might Say dan Rock n Roll Star pas didengarkan untuk menemani menyelesaikan tugas-tugas kuliah, Champagne Supernova enak menjadi pengiring ketika sedang berkendara di dalam mobil, Don’t Go Away ketika galau, serta Songbird dan Whatever ketika berjemur di bawah sinar matahari pagi. Ya, belakangan ini aku sering berjemur di pagi hari, durasinya kurang lebih setengah album Morning Glory, The Masterplan, Definitely Maybe, atau Be Here Now.

Bertepatan dengan Oktober ini, tepatnya tanggal 2 Oktober adalah hari raya bagi semua penggemar Oasis. 25 tahun yang lalu, Oasis merilis album terlaris sepanjang masa sekaligus album terbaik di dunia : (What’s the Story) Morning Glory?

Menikmati Oasis itu mudah. Tidak perlu memanjangkan rambut sampai menutupi mata, menggunakan outfit serba hitam, menjadi anak bandel, atau punya masalah hidup yang berat terlebih dahulu, merokok dan minum minuman keras, bahkan tidak perlu membaca atau menghafal lirik-lirik lagunya, cukup dengarkan. Biarkan kata-kata omong kosong Noel serta suara cempreng serak milik Liam masuk melalui telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.

Kalau suka ya wajar, kalaupun nggak nyantol di kuping juga bukan masalah. Urusan selera tidak dapat diganggu gugat. Yang penting sudah dapat pengalaman mendengarkan musik dari salah satu band terbaik di dunia serta merasakan sengatan Supersonic mengalir dalam tubuhmu.

Sulit sepertinya melihat Oasis reuni, walaupun itu harapan seperempat penduduk Bumi. Liam ingin Oasis reuni, tapi Noel mengatakan bahwa itu adalah pengalaman sekali seumur hidup yang baiknya jadi kenangan saja.

Setidaknya Oasis akan abadi, di Spotify, di Apple Music, di YouTube, dan di hati setiap penggemar mereka. (Hari ini tadi, Wonderwall jadi lagu yang dirilis tahun 90an pertama yang didengarkan streaming lebih dari 1milliar kali di Spotify).

Noel dan Liam juga masih berkarya, jadi apa yang perlu ditangisi?

And all the roads we have to walk are winding
And all the lights that lead us there are blinding

Tinggalkan komentar