Serendipity

Di bahasa Inggris, Serendipity bisa diartiin “kecelakaan yang menyenangkan”, the occurrence and development of events by chance in a happy or beneficial way. Ribet. Pokoknya keadaan ketika kita udah salah jalan, atau berjalan nggak sesuai rencana tapi diajalan yang nggak sesuai itu kita nemu hal yang menyenangkan dan bernilai. Gitu. Kayaknya. Bedanya sama Luck? Kalau keberuntungan kan masih sesuai rencana. Gitulah pokoknya.

Lagi-lagi pandemi. Pandemi ini menyebabkan kantuk, juga banyak rencanaku gagal. Merencanakan kegagalan, Nggak juga. Intinya banyak rencana yang nggak terwujud karena pandemi. Bahkan rencana yang gede gitu, yang udah direncanain dari SMA ‘hidup ini mau di bawa kemana’  gagal semua. Bingung awalnya, males, masih nggak terima. Kemudian makin kesini, banyak ngobrol sama orang, banyak belajar hal baru, akhirnya dapet kesadaran-kesadaran baru, jadi sadar kalau ternyata dengan semua rencana yang aku buat dari dulu itu malah jadi ‘menyempitkan’ ruang gerak. Hidup Cuma buat tujuan.

Karena pandemi rencanaku gagal total, tapi karena pandemi juga aku dapet banyak hal menyenangkan diluar rencana, yang  bahkan nggak pernah kepikiran. Serendipity? Bisa lah ya. Mau gimanapun nggak ada yang merencanakan akan menghadapi pandemi, apalagi sampe setahun lebih. Tentu pandemi bukan ‘kecelakaan yang menyenangkan’, tapi karena pandemi lah aku bertemu. Bukan. Dipertemukan dengan banyak hal baru dan menyenangkan.

Situasi dan kondisi, termasuk pandemi mendamparkanku pada sebuah komunitas lingkungan yang lumayan Wow. Wkwkwk… Padahal aku anti organisasi dan males ngurusin gitu-gitu. Yang awalnya iku niatnya mengisi waktu luang dengan menanam pohon dan mendaur ulang sampah, malah jadi ngurus ini itu banyak hal.

Nggak pernah ada niatan, bahkan kepikiran pun nggak pernah. Sampai harus berurusan sama instansi pemerintah, bolak-balik balaikota dan Dinas Lingkungan Hidup, stres mikir konsep, koordinasi sama banyak pihak, banyak lah pokoknya. ‘Cuma’ buat acara matiin lampu selama 1 jam. Cuma 1 jam aja persiapannya harusnya minimal 3 bulan, mana kemarin mepet persiapan nggak ada sebulan. Alhasil tiap ngobrol buat koordinasi sama pemerintah yang ada cuma diomelin. Huuu. Tak kasih tau, sejauh ini berurusan dengan instansi pemerintah bisa dijadikan alternatif untuk merusak mood.

Belum lagi karena komunitas ini basisnya volunteer jadi nggak mengikat sifatnya. Nggak yang tiap rapat harus dateng, bahkan banyak yang pada sibuk kerja apa ngurus skripsi. Jadi kekurangan tenaga. Persiapan mepet, SDM kurang, tapi kan the show must go on azeek, ya jadinya keteteran. Capek? Banget. Dua pekan terakhir bulan Maret rasanya berjalan lama banget, padahal aku pengen cepet-cepet selesai.

Menyenangkan? Nggak semuanya. Lha terus dimana letak Serendipity nya? Akhirnya menyenangkan begitu semua urusannya selesai dan aku bisa mikir jernih lagi. Nggak jernih-jernih amat si. Menyenangkan karena akhirnya punya pengalaman buat diceritain, juga ide buat nulis.

Diem bentar, mikir ke belakang. Ternyata banyak yang udah dilewatin, yang semua hal itu nggak akan bisa dijumpai kalau rencana awalku nggak gagal. Oke aku punya rencana melakukan banyak hal yang seru, sekarang hampir semua itu gagal. Tapi kemudian aku ketemu dengan banyak hal seru lainnya, yang nggak pernah kepikiran sebelumnya. Ketemu banyak orang, bersinggungan dengan berbagai latar belakang, akhirnya aku sampai di kesimpulan kalau ‘menghidupkan’ isi kepala kita sendiri memang hal yang menyenangkan, tapi tau dan bahkan ikut hidup dalam isi kepala orang lain itu juga nggak kalah seru.

Balik lagi. Sebulan capek-capek bikin acara buat matiin lampu selama sejam apa yang aku dapet? Kesadaran baru kalau ternyata semua hal ada konsekuensinya. Pasti ada. Sekecil apapun. Dalam bentuk apapun.

Btw ini udah nulis dari kemarin malem tapi nggak selesai-selesai. Bingung mau diisi apa.

Batman, Batman teruusss Wkwkwk… Jadi di salah satu cerita Batman ada yang nyeritain gini. Waktu itu selang beberapa tahun setelah orang tua Bruce Wayne (Batman) meninggal. Jadi Bruce masih kecil, belum jadi Batman. Sejak orang tuanya meninggal itu Bruce hidupnya nggak pernah tenang, penasaran kenapa kok orang tuanya dibunuh. Rasa penasaran itu mengantarkan Bruce pada sebuah ruang rahasia milik ayahnya, Thomas Wayne, kelak ruangan itu dialih fungsikan jadi Bat Cave, gua yang isinya teknologi canggihnya Batman. Di ruangan itu ada komputer sama ada kertas surat yang ditulis Thomas Wayne buat Bruce, isinya kurang lebih kayak gini:

“Bruce, kalo kamu nemu surat ini berarti kamu berhasil nemu ruangan rahasia ini dan itu berarti Ayah udah nggak ada, waktu Ayah tulis surat ini umrumu masih 12 tahun. Sekarang Ayah nggak tau umurmu berapa ketika membaca surat ini, jadi Ayah mau ngasih nasehat. Bruce, kamu nggak bisa sekaligus memiliki kebahagiaan dan kebenaran. Kamu harus milih. Ayah mohon, pilihlah kebahagiaan. Kecuali, kecuali kalau kamu merasakan panggilan. The True calling”.

Bruce Wayne dikasih dua pilihan, hidup bahagia jadi seorang milyader, yang kalau berangkat sekolah naik Porsche, yang duitnya nggak bakal habis 7 turunan, yang beli hotel kayak beli siomay, tapi sayangnya Bruce nggak milih jalan yang itu. Bruce milih jadi Batman, nyari tau kenapa orang tuanya dibunuh, yang kemudian dia harus berhadapan sama mafia se kota Gotham sampe nggak tidur tiap malem.

Tapi kan Batman superhero? Bukan. Wkwkwk… Batman nggak sama kayak Iron Man apa Captain America. Iron Man sama Captain Amerca kan pahlawan, banyak penggemarnya, dielu-elukan, la Batman jadi buronan polisi. Vigilante. Main hakim sendiri. Ya emang juga karena si Bruce Wayne nggak mau tampil di depan publik.

Memang dari awal Batman nggak diniatin jadi superhero. Tapi jadi simbol. Simbol ketakutan dan harapan. Ketakutan buat para mafia di kota Gotham, harapan buat warganya biar nggak takut melawan. Batman itu monster, Bruce Wayne sendiri yang bilang. Tapi itu semua dilakuin buat Gotham, buat orang lain, buat apa yang dia yakini. Resikonya? Dibenci.

Selalu ada konsekuensi dari niat baik. Apapun.

Tinggalkan komentar