Sepakbola, Basket, dan Utopia Masa Lalu

Aku lupa kapan terakhir rajin ngikutin perkembangan sepak bola. Seingetku waktu itu Javier ‘Chicharito’ Hernandez masih berseragam Emyu. Itu tahun 2010. Kalau diitung-itung udah 10 tahun yang lalu.

Setelah 10 tahun, akhirnya akhir musim 2020/2021 ini jadi mulai ngikutin berita dan rajin nonton bola lagi. Terutama Emyu. Tim yang dini hari kemarin (28/5) kalah adu penalti di final Piala Eropa.

Legenda Manchester United, Eric Cantona pernah bilang, “You can change yoru wife, your politics, your religion, but never, never can you change your favourite football team”. 10 tahun lebih jarang bersinggungan dengan sepakbola, dukunganku kepada tim sepakbola nggak pernah berubah. Dari dulu SD ada kalender Manchester United di kamar, sampai sekarang ada jersey Emyu yang jarang dipake karena kalian semua tahu alasannya Wkwkwk… Apalagi kalau bukan performa Emyu yang naik turun layakyanya keimanan dan lebih sering turunnya itu. Cinta itu tetep sama: Manchester is Red!

Walaupun salah satu alasan jarang nonton bola adalah performa Emyu, bukan berarti aku nggak lagi putus asa sama Emyu, bukan. Lebih karena aku nggak siap dikecewakan terus menerus, kalau bahasa sekarangnya adalah Toxic Relationship. Sekarang, balik lagi sering nonton bola juga lagi-lagi karena performa Emyu, pelan-pelan naik ke peringkat atas, menang-menang-seri-menang, beberapa kali comeback, pemain-pemain akademi yang menjanjikan. Tapi nyatanya, ujian saya dan segenap fans Emyu belum selesai, tekad kami masih harus dikuatkan lagi, 4 tahun puasa gelar, performa yang naik turun, dan terakhir kalah di final masih harus jadi sarapan sehari-hari.

Semua juga tau, sejak Sir Alex Ferguson nggak lagi jadi pelatih, Emyu belum pernah lagi juara liga Inggris. Gonta-ganti pelatih belum juga membuahkan hasil yang diinginkan. Alex Ferguson jadi pelatih Emyu dari 1986 sampai 2013, selama itu Emyu berhasil juara liga Inggris 13 kali.

Emyu setelah ditinggal Fergosan udah nggak kayak Emyu lagi, mainnya nggak istiqomah, tinggal masa lalu doang lah. Sampai susah sekarang ini, mau bangga apa malu jadi fans Emyu. Mau bangga karena punya trofi liga Inggris paling banyak itu juga cerita dulu, tapi mau kecewa rasanya kok ya nggak pantes, mau gimana aja tim ini punya sejarah yang panjang. Mbingungi sekali, bahkan bisa dilihat di akun media sosial Manchester United, sehari-hari yang sering di upload dan jadikan status kok ya gol-gol jaman dulu, dengan alasan #GoalOfTheDay, apa ndak ada pencapaian Emyu sekarang ini yang layak di jadikan status dan dengan bangga bisa di retweet para penggemarnya?

Selain males dikecewakan sama Emyu, alasan lain kenapa aku jadi jarang nonton bola adalah karena aku kenal basket. Sejak kelas 3 SMP pelan-pelan jadi sering nonton basket, juga lebih sering main basket daripada main bola. Aku semacam menemukan cinta baru, move on  dari yang sebelumnya rajin dikecewakan, pelan-pelan kembali punya harapan. Dari Manchester United move on ke San Antonio Spurs.

Apakah move on nya berhasil? Tidak juga. Wkwkwk… Wajarnya, bagi orang yang baru ngikutin basket di tahun itu, tahun 2014-2015, harusnya yang jadi tim favorit kalau nggak Golden State Warriors ya Cleveland Cavaliers, back to bak final Play-Off lho! Nggak tau kenapa malah ngefans Spurs, bosen aja kali ya masa dukung tim yang ‘udah pasti’ menang, gampang banget, nggak ada greget-gregetnya.

Spurs sama Emyu itu ada persamaanya, sama-sama tinggal masa lalu. Wkwkwk… Walaupun di basket kasusnya beda karena nggak sempet liat Spurs juara. Terakhir juara 2014, aku kenal basket 2015, apa 2016 gitu pokoknya setelah itu. Hebat lo Spurs itu, 5 kali juara NBA. Urutan ke-5 tim yang paling banyak juara NBA. Spurs juga jadi tim yang punya rekor lolos Play Off terpanjang, selama 22 musim sejak 1996-1997 Spurs selalu lolos Play Off, sayangnya sejak musim 2020 lalu rekor itu terpaksa disudahi.

Sama kayak Emyu kan, sama-sama mbingungi. Kadang aku aku mikir gitu, duh Gusti sebanyak itukah dosa saya, sampai-sampai saya ditakdirkan jadi pendukung tim yang masanya sudah selesai? Menjadi fans Emyu dan Spurs menjadikanku seakan-akan hidup di masa lalu, tayangan ulang highlight pertandingan 10 tahun silam jadi ruang alternatif untuk berbahagia atas pilihan medukung kedua tim tersebut.

Emyu tiga kali juara liga berturut-turut lo. 20 trofi liga, 12 trofi piala FA. Spurs nggak pernah absen ikut Play Off 22 tahun berturut-turut. Saking cantiknya gaya bermain San Antonio Spurs, sampai-sampai disamakan sama alunan musik Mozart. Masterpiece! Iyaa, tapi kan itu dulu…

Kemampuan inovasi manusia tidak murni berasal dari mengkhayal, tapi juga berasal dari pengalaman. Hasil rekonsturksi pengetahuan dan keterampilan oleh manusia adalah produk histori, bukan sekadar ciptaan baru atau inovasi. Itulah kenapa kemudian muncul istilah Class of ’92, team impian Manchester United yang isinya pemain-pemain didikan akademi yang berhasil menjuarai liga primer dan piala FA, kalau nggak salah tahun 1995. Class of ’92 jadi semacam Harapan dan utopia para penggemar Emyu, kapan nih Emyu punya pemain-pemain hebat, lagi?

Kalau Emyu punya Class of ’92, San Antonio Spurs punya Big Three, Big Three itu sebutan buat Tim Duncan, Tony Parker, sama Manu Ginobili, trio Spurs dari 2002-2016 yang berhasil membawa Spurs 4 kali juara NBA. Sekarang ketiga pemain itu udah pensiun, Spurs belum juara lagi, belum punya Big Three lagi.

Mungkin hal itu juga yang bikin banyak pendukung Emyu dan tim sepakbola lainnya loyal terhadap tim kesayangannya mereka, walaupun sudah dikecewakan berkali-kali; Keyakinan bahwa suatu saat tim kesayangan mereka akan mengulang kembali kejayaan masa lalu.

Tapi, keyakinan yang berlebihan juga tidak baik, romantisme buta terhadap masa lalu akan jadi suatu hal yang norak -seenggaknya di dunia sepakbola. Lihat aja gimana Madridista (fans Real Madrid) habis-habisan dihina, nggak cuma sama rival mereka, Barcelona tapi juga oleh pendukung tim lain. Madrid yang kemarin kalah dari Chelsea harus tersingkir dari Liga Champions, bukannya menerima kekalahan, para Madridista malah koar-koar “Tenang, kami udah 13 kali juara Liga Champions, terbanyak dalam sejarah dunia”. Malu-maluin. Norak banget. Kalah ya kalah. Nggak perlu jadi ahli sejarah.

Dari situ kita tahu gimana masa lalu dan sejarah punya nilai penting di dunia Sepakbola, juga basket. Selain itu masa lalu juga menjadi rekonstruksi imajinatif tentang harapan di masa depan. Sepak bola dan Basket adalah bukti, kalau masa lalu tidak hanya sebagai suatu nostalgia, tapi juga utopia.

Barangkali mereka, para penggemar Sepakbola dan Basket adalah orang-orang yang mengimani sabda “History repeats itself”.

Tinggalkan komentar