Pertempuran yang Tidak Perlu Dimenangkan

Saya sering memiliki masalah dengan waktu, saya punya kebiasaan buruk sering menunda berbagai hal, dan sampai sejauh ini saya tidak bisa hidup dengan jadwal. Di beberapa kesempatan saya kesulitan membagi waktu untuk orang lain, sering kali yang menjadi penyebabnya adalah konflik peran pada diri saya sendiri.

Kejadian ini terulang berkali-kali, teman-teman saya berkunjung ke Solo jauh-jauh dari rumah mereka untuk bertemu dan berkumpul termasuk dengan saya. Di waktu yang bersamaan, Ayah saya sedang dalam penerbangan menuju Solo dari tempat kerjanya setelah sebulan lebih tidak pulang. Karena waktunya bersamaan, saya harus memilih salah satu antara bertemu Ayah atau berkumpul bersama teman-teman, karena seringkali Ayah juga teman-teman saya tidak punya banyak waktu di Solo. Tidak mungkin dong saya membelah diri? Kalau saya memilih bertemu dengan Ayah, saya harus merelakan teman-teman yang sudah jauh-jauh dating dari luar kota. Tapi kalau saya memilih berkumpul bersama teman, masa iya Ayah jauh-jauh mau ketemu anaknya, malah ditinggal main? Membagi waktu selalu jadi pekerjaan berat bagi saya.

Itu satu contoh dari konflik peran saya sebagai seorang ‘teman’ dan juga mahasiswa, dengan saya sebagai anak tertua di rumah.

Tahun pertama pandemi menjadi tahun yang berat bagi saya. Selain harus beradatasi dengan kehidupan digital, saya harus membantu Ibu saya menyelesaikan banyak pekerjaan rumah, termasuk pindahan dan renovasi, ditambah lagi keadaan memaksa Ayah yang biasanya pulang sebulan atau dua bulan sekali menjadi lebih jarang pulang.

Saya tidak sedang mencoba meromantisasi beban sebagai anak pertama. Saya yakin semua anak, bahkan semua orang punya beban dan masalahnya masing-masing. Saya hanya ingin berceria bahwa sebagai anak pertama yang dikaruniai dua adik yang ndablek e ra ukur-ukur dan persoalan rumah yang barmacam-macam serta harus menggantikan peran Ayahnya karena harus bekerja diluar kota, saya seringkali keteteran.

Saya sadar, sampai kapanpun saya tidak bisa menggantikan peran Ayah saya, tapi setidaknya saya harus bisa melakukan berbagai hal yang biasa menjadi tugas Ayah saya. Keadaan itu memaksa saya untuk belajar mengerjakan banyak hal, membetulkan aliran listrik dan air di rumah, mengetahui seluk beluk adiministrasi rumah tangga, dan banyak hal sejenisnya ‘baru’ adalah hal-hal praktis. Ada pekerjaan rumah lain yang mau tak mau harus saya kuasai, yaitu memastikan. Memastikan berbagai hal di rumah berjalan sebagaimana mestinya. Memastikan adik-adik saya bangun pagi, memastikan mereka tidak terlambat sekolah, memastikan mereka menyelesaikan tugas-tugas.

Jika dilihat-lihat tugas saya di rumah tidak sebanyak itu, menyetrika, memasak, dan bersih-bersih rumah masih dilakukan olah Ibu saya, tugas saya sekadar membantu dan memastikan semuanya berjalan lancar. Termasuk memastikan keadaan rumah harmonis serta semua orang di rumah baik-baik saja dan bahagia.

Itu semua tidak bisa saya lakukan jika saya selalu ngaboti keperluan diri saya sendiri atau selalu mengiyakan ajakan nongkrong teman-teman saya. Bagaimana saya bisa memastikan adik-adik saya bangun pagi dan mengerjakan urusan mereka, kalau malamnya saya pergi bersama teman-teman dan baru pulang pukul 1 kemudian tertidur sampai pagi? Hal itu yang selalu jadi pertimbangan saya setiap kali ada kesempatan berkumpul bersama teman-teman.

Saya tidak bisa sebagaimana teman-teman saya yang lain, yang aktif berorganisasi misalnya atau melakukan banyak kegiatan bersama, sedangkan saya tidak bisa setiap hari meninggalkan rumah. Banyak hal yang harus dibereskan dan dipastikan beres. Saya sering mbatin, kenapa semua teman-teman saya bisa nongkrong dan melakukan banyak hal tanpa sedikitpun kepikrian rumah ya? Kenapa saya nggak kayak mereka.

Berkali-kali saya berandai-andai, kalau dulu saya jadi berkulaih jauh dari rumah, apakah rasanya akan sama? Setidaknya saya punya alasan untuk tidak melulu membereskan urusan rumah. Berkali-kali saya renungkan dan saya pun sadar, sejauh apapun saya dari rumah rasanya akan tetap sama. Semua persoalan itu tidak terletak di rumah, semua itu ada di kepala saya. Tanggung jawab saya. Dibelahan dunia mana pun saya berada saya tetaplah anak pertama.

Ayah dan Ibu saya membolehkan saya pergi kemanapun, kapanpun, dan dengan siapapun. Tapi saya yang membatasi diri saya sendiri, alasannya tadi. Saya selalu kepikiran rumah. Saya akan lebih tenang jika Ibu atau adik-adik saya marah saat itu saya ada di rumah, setidaknya saya bisa berusaha membantu menyelesaikan masalahnya, daripada orang di rumah marah sedangkan saya malah sibuk dengan urusan diluar, dan ketika pulang yang ada hanya diprenguti. Saya benci keadaan rumah yang tidak harmonis.

Seperti yang tadi saya ceritakan, saya cukup kewalahan dengan semua urusan ini. Iya memang membantu urusan rumah termasuk dalam berbakti pada orang tua, tapi saya juga punya urusan saya sendiri. Keperluan-keperluan saya sebagai seorang mahasiswa dan anak umur 20an pada umumnya. Saya sering mengeluhkan keadaan ini sebagai alasan kenapa saya tidak bisa se-aktif kebanyakan teman-teman saya (selain karena saya tidak suka sibuk di organisasi dan perkuliahan).

Sampai akhirnya saya menemukan jawabannya, dari salah satu seniman sekaligus musisi favorit saya, Farid Stevy. Di salah satu interviewnya di YouTube beliau bercerita mengenai kebutuhan hidup manusia. Ketika kita masih muda, kebutuhan kita berputar tidak jauh dari kebutuhan eksistensi. Mengekspresikan diri, berkumpul dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan yang sama, menggali potensi, dan menemukan peran. Gampangnya kebutuhan untuk menjadi keren. Ketika beranjak dewasa, kebutuhan kita bergeser, menjadi kebutuhan bertahan hidup. Cari duit, menghidupi anak dan istri, menyenangkan mereka, melunasi tagihan, dan sebagainya. Sebut saja kebutuhan untuk kenyang.

Dari situ saya sadar, mungkin saya sedikit berbeda dengan kebanyakan teman-teman saya. Kebutuhan saya tidak lagi sekadar kebutan eksistensi, ada juga beberapa kebutuhan untuk ‘bertahan hidup’. Menjadi anak tertua dan dipasrahi Ayah menjaga rumah, di beberapa kesempatan saya merasa lebih tua dari umur saya. Tidak ada yang salah, bahkan beberapa anak muda yang sudah ‘dewasa’ dipandang memiliki nilai lebih. Tapi dalam kasus saya kebutuhan akan eksistensi seringkali bentrok dengan kebutuhan bertahan hidup. Saya masih ingin menjadi anak muda dan mengekspresikan diri bersama teman-teman yang lain.

Satu contoh yang sering saya rasakan, karena sering menemani Ibu saya menyelesaikan urusan administrasi rumah tangga seperti membayar pajak, melunasi tagihan dan sejenisnya, saya jadi tahu berapa nominal yang harus dikeluarkan. Akibatnya saya sering bersikap pelit untuk diri saya sendiri. Pelit membelanjakan uang untuk jajan bahkan keperluan. Padahal saya tahu sudah ada alokasi untuk uang jajan saya, tapi uang yang harus dikeluarkan orang tua saya per bulannya tidak sedikit, dan saya merasa sebisa mungkin harus menekan pengeluaran tersebut.

Banyak orang yang bilang, tinggal di rumah bareng orang tua itu nggak gratis, bayarannya pake mental health. Apakah bagi saya juga demikian?

Lelah? Sudah pasti, bahkan saya sering keteteran.

Saya akhirnya bisa ‘berdamai’ dengan semua itu,walaupun masih ada mengeluhnya, tapi setidaknya saya menerima. Semua berawal dari sebuah kata-kata, saya mendapat quotes ini dari YouTube, lagi-lagi karena kegemaran saya menyaksikan interview berjam-jam di YouTube. Salah satu konten kreator yang saya ikuti adalah Gofar Hilman, saya mengikuti konten-konten musik dan otomotifnya, dengan menggemari karya-karyanya bukan berarti saya menyetujui perbuatannya lho ya (mengingat dunia semakin sensitif, yang gini-gini perlu dipertegas). Di salah satu konten inerviewnya, Gofar pernah ngomong, “Keluarga adalah pertempuran yang tidak perlu dimenangkan.” Sebuah kalimat yang selalu saya ulang-ulang setiap kali lelah dihadapkan dengan banyak persoalan keluarga. Kecewa dan marah itu respon yang wajar, tapi selalu ada pilihan untuk menerima dan bersabar. Masa’ Gofar yang orangnya sangar badannya penuh tato aja bisa berdamai, saya yang cupu kok sok-sokan melawan.

Tinggalkan komentar