Love-Hate Relationship with Sophistication #2

Beberapa waktu lalu, saya mendapat kesempatan zoom meeting bersama dosen dalam rangka menyelesaikan tugas membuat video rekayasa sosial untuk memenuhi nilai ujian akhir semester salah satu mata kuliah. Kelompok saya mengangkat isu mengenai kebocoran data yang ketika itu sedang ramai di media sosial. Di akhir sesi, kami mengobrol santai, sesi ini kami manfaatkan untuk bertanya banyak hal kepada dosen.

Saya yang tidak pernah bertanya ketika jam kuliah, ketika itu akhirnya bertanya. Karena pembahasannya relevan dan sesinya memang santai, saya ceritakan keresahan saya, soal saya yang ‘benci’ menggunakan banyak teknologi, yang saya tanyakan, “Apakah orang yang memilih tidak menggunakan teknologi karena alasan dampak buruknya, bisa dikategorikan orang-orang yang menolak perubahan?”.

Saya tanyakan sebuah pertanyaan yang saya sudah tahu jawabannya. Sering terjadi begitu bukan? Kita sudah tahu kebenarannya, tapi menunggu hal itu keluar dari kepala orang lain. Butuh validasi, atau meragukan diri sendiri, mungkin?

Saya tahu jawabannya. Jawabannya tidak. Orang-orang itu tidak menolak perubahan, mereka memilah perubahan mana yang baik bagi diri mereka. Tapi memang yang namanya dosen , pastilah kekayaan intelektualnya lebih dari rata-rata. Jawaban dosen saya tidak terduga, dan ada satu kalimat yang saya rekam jelas sekali di kepala saya, katanya “Pada akhirnya semua orang akan berdamai dengan teknologi.” Mendengarnya, hati saya langsung mak tratap.

Setelahnya saya berdialog dengan diri sendiri, bergumam. Mbatin. Apa iya semua orang akan berdamai dengan teknologi? Termasuk saya? Rasa-rasanya sulit melihat saya betah ­nge­-zoom dan melakukan kegiatan secara digital atau virtual lainnya. Sepertinya saya tidak termasuk goongan orang-orang yang akan berdamai dengan teknologi. Mbok yao benar setiap orang akan berdamai dengan teknologi, sepertinya kalau saya bukan sekarang.

Saya menikmati berbagai karya visual, salahs satunya video. Hal itu membawa saya untuk tipis-tipis belajar membuat dan mengedit video. Suatu ketika saya mendapat ide untuk membuat sebuah video pendek, iseng-iseng aja mengisi waktu luang. Saya sampai meminta salah satu teman saya yang hobi fotografi untuk merekam beberapa footage bagi saya. Narasi sudah jadi, konsep sudah dirumuskan, dan footaage dirasa cukup, selanjutnya tinggal proses editing. Sayangnya, proses itu tidak pernah terjadi. Sampai sekarang. Proyeknya mangkrak tujuh bulan.

Alasannya? Karena laptop saya, yang saya gunakan untuk mengedit video lemot sekali. Memang sudah terhitung lama, RAMnya hanya 4gb, belum cukup untuk menjalankan software editing video. Jangankan software edit video, membuka Microsoft Word pun laptop saya lemot. Leda lede. Jika saya paksakan untuk tetap membuat video, yang ada bukanya saya melatih skill editing tapi lebih ke melatih kesabaran.

Setelah sekian lama, dengan alasan efektivitas dan kesehatan (karena laptop lemot menyebabkan stres dan amarah), saya memutuskan untuk mengupgrade laptop saya. Saya tukar tambah dengan laptop yang lebih mampu menjalankan pekerjaan, yang RAMnya lebih besar. Saya tukar tambah laptop saya dengan sebuah laptop baru. Bukan baru. Seken. Bahkan keluaran lama tapi sistem operasi dan kapasitasnya sudah diupgrade. Kebetulan Om saya puya sebuah usaha  mereparasi serta menjual laptop dan komputer bekas. Saya mendapat laptop bekas darinya, diambilkan dari salah satu dagangannya.

Hidup saya berubah signifikan setelah hadirnya laptop baru. Walaupun proyek video pendek yang dulu belum lagi saya garap, laptop saya yang ‘baru’ ini sukses menghasilkan sebuah video untuk keperluan tugas kuliah. Takjub dengan performanya yang jauh diatas laptop saya yang sebelumnya, saya pun tertarik untuk bereksperimen, mencoba hal-hal lainnya dengan laptop yang ini. Selain itu saya juga sudah memiliki hardisk eksternal, yang saya comot dari laptop saya sebelumnya. Entahalah, punya hardisk eksternal memmbuat saya  cukup senang karena punya media penyimpanan yang lebih oke. Sekadar informasi, saya menyimpan banyak sekali foto dan video, saya punya potret saya dari tahun 2002 sampai sekarang, hampir setiap momen dalam hidup, saya abadikan dalam bentuk foto atau video. Kini semua foto itu tersimpan rapi di hardisk saya.

ikhtiar merawat ingatan

Dengan performa laptop yang sekarang ini, akhirnya saya memberanikan diri untuk menjajal menggambar digital. Selain karena cat saya habis, saya belum lagi menemukan dorongan untuk menggambar diatas media kanvas. Akhirnya saya mulai belajar menggambar secara digital, pelan-pelan. Beberapa kali percobaan gagal, hasilnya tidak sesuai keiginan saya. Saya kecewa dan memutuskan berhenti sejenak. Sketsa-sketsa saya diatas kertas tidak saya lanjutkan dan berakhir sia-sia. Tapi saya selalu suka menggambar, sejak kecil. Bagaimanapun ceritanya saya selalu ingin bisa menghasilkan gambar yang bagus. Di kegagalan yang kesekian itu akhirnya saya bangkita dan mencoba lagi. Kemudian, oleh seorang teman, saya direkomendasikan untuk membeli sebuah pen tablet, pengganti pensil yang digunakan untuk menggambar secara digital.

Ingat dengan Walkman saya kemarin? Ternyata kebersamaan kami tidak berumur panjang, belum ada satu tahun Walkman saya sudah pindah kepimilikan. Wacana untuk menjual Walkman sudah cukup lama terpikirkan, rencananya uang hasil penjualan itu akan saya belikan Boombox kecil, radio yang bisa difungsikan untuk memutar kaset tape. Agar kedepannya memutar kaset tidak perlu menggunakan headset. Singkat cerita Walkman saya terjual, tapi rencananya berubah. Uang hasil penjualan itu saya gunakan untuk membeli pen tablet. Walkman yang kemarin-kemarin menjadi senjata saya untuk melawan hegemoni teknologi digital, sekarang saya jual dan hasil penjualannya saya gunakan untuk membeli salah satu produk teknologi digital. Sangat bertentangan. Paradoks. Kontradiktif. Saya menjilat ludah saya sendiri.

Saya mulai lebih intens belajar menggmbar digital. Masih dasar-dasarnya, sketsa pun masih di gambar diatas kertas, baru kemudian saya scan untuk kemudian di jiplak, atau bahsa digitalnya ‘tracing’.

gambar pertama yang saya buat ketika belajar Adobe Illustrator

Selain itu, pelan-pelan saya juga mulai banyak melakukan interaksi secara virtual. Join room discord yang biasa digunakan teman-teman untuk bermain game, gmeet dan zoom meeting, merekam podcast, sekarang pun, saya lebih sering menulis menggunakan laptop (sebelumnya biasa dengan hp atau tulis tangan). Sampai akhirnya saya kepikiran untuk membeli sebuah meja untuk di kamar, dulu Ayah pernah menawarkan diri membelikan saya meja tapi saya tolak dengan alasan menuh-menuhin kamar dan akan jarang saya pakai. Waktu itu saya masih jarang melakukan kegiatan virtual, masih jarang menggunakan laptop untuk berbagai kegiatan, sekarang punggung saya sakit terlalu lama duduk lesehan di depan layar mengerjakan banyak hal.

Laptop baru menjadi trigger bagi saya untuk banyak memanfaatkan teknologi digital. Meningat sebelumnya saya merasakan sumpek bahkan muak mengerjakan berbagi hal dengan bantuan digital, hal ini adala sebuah perubahan besar. Cukup bisa dikatakan revolutif, karena berlansung dalam waktu yang lumayan singkat, Walkman saya belum genap berusia satu tahun!

Walaupun belum punya alat untuk memutar kaset lagi, kaset-kaset saya masih tersimpan rapi di rak. Saya masih ingin melengkapi koleksi kaset-kaset saya. Saya juga ingin membuat sebuah mixtape, playlist yang direkam dalam bentuk kaset. Tapi tidak sekarang, mungkin besok kalau saya sudah berdaya beli.

Saya kembali teringat perkataan dosen saya waktu itu, bahwa pada akhirnya semua orang akan berdamai dengan teknologi. Saya pernah menolak untuk mempercayai hal itu, tapi sekarang dengan banyak hobi yang saya lakukan dengan bantuan digital, rasanya waktu saya sudah tiba. Proses berdamai saya dengan teknologi sudah dimulai.

(Bersambung ke bagian #3)

Tinggalkan komentar