Love-Hate Relationship with Sophistication #3

Saya baru sadar, ternyata di akhir tulisan Love-Hate Relationship with Sophistication #2, saya menulis: bersambung ke bagian 3. Sebelumnya, saya kira bagian ke-2 adalah akhir. Ternyata salah. Mumpung saya ingat dan keresahan saya belum tersampaikan semua, tulisan ini akan jadi bagian terakhir seri Love-Hate Relationship with Sophistication.

Here we go!

Seorang teman pernah berkujung ke rumah saya dan kemudian memesan makanan melalui layanan pesan antar makanan Go-Food. Katanya waktu itu sedang ada diskon dan promo, eman-eman kalau nggak dipake. Teman saya menawarkan apakah saya juga mau ikut memesan makanan. Saya iyakan, pesanannya saya manut apa yang akan dipesan teman saya. Saya termasuk orang yang jarang memesan makanan secara online, bahkan tidak pernah. Seingat saya, saya belum pernah memesan makanan untuk saya sendiri secara online, sesekali membantu Mama memesankan makanan untuknya.

Setelah menentukan mau pesan apa, saya kira saya tinggal menunggu kurir mengantarkan makanan ke rumah dan kemudian membayar. Ternyata tidak, masih butuh beberapa waktu bagi teman saya untuk menyelesaikan pesanan tadi di aplikasi. Ia sibuk menanyakan perbedaan tiap menu yang dijual, mencari toko yang menjual harga termurah, membandingkan diskon dan promo yang ditawarkan layanan pembayaran, bahkan atas desakan teman saya, kami sempat mengganti menu pesanan karena pesanan yang sebelumnya tidak mendapat diskon. Saya yang sebelumnya tidak lapar, jadi ikut-ikutan lapar karena menunggu

Sejak saat itu saya kepikiran; punya banyak pilihan ternyata ruwet, punya banyak kemungkinan ternyata buang-buang waktu dan juga tenaga. Teknologi yang memungkinkan kita menjangkau banyak hal, memberikan banyak kita pilihan, selain memudahkan hidup kita, di sisi lain juga nambah-nambahi pikiran dan menyita waktu kita.

Diskon dan promo memang sangat membantu, apalagi bagi kita yang belum mandiri secara ekonomi. Tapi disisi lain, selain hari-hari kita disibukkan ‘hanya’ untuk mencari promo dan diskon, kemudahan tadi juga mengubah kita menjadi makhluk yang semakin konsumtif. Banyak maunya. Kita dipaksa membelanjakan uang dan waktu kita untuk semua hal yang ditawarkan di layar hp kita, alasannya sederhana: eman-eman.

Mumpung ada diskon.

Promonya mau hangus.

Banyak alasan bagi saya untuk tidak terlalu nyaman degan semua kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi modern. Mungkin kedengarannya aneh, sok-sokan, lebay, menyusahkan diri sendiri, dan memang benar. Saya sudah mencoba hidup dengan banyak kemudahan, dan menerima banyak konsekuensinya. Hidup saya jadi ada bagian ruwetnya. Saya ingin menjajal hidup dengan cara lain, yang tidak melulu dimanjakan kemudahan, yang tidak segala hal bisa saya akses lewat layar hp saya.

Saya masih menggunakan beberapa layanan pesan antar, beberapa waktu yang lalu saya mengunduh aplikasi e-Wallet di hp saya, hasutan sepupu saya yang mengatakan kalau membeli tiket nonton dari aplikasi tersebut kita cukup membayar setengah dari harga aslinya. Saya masih butuh banyak kemudahan dalam hidup saya, dan teknologi menawarkan banyak kemudahan tersebut, tapi rasanya tidak semua persoalan dalam hidup saya perlu diselesaikan oleh teknologi.

Saya tidak sedang mengatakan bahwa kita sudah terlalu berlebihan memanfaatkan kemudahan teknologi, banyak orang-orang diluar sana yang hidupnya bergantung pada teknologi. Tapi bagi saya, kebanyakan mengonsumsi kemudahan teknologi justru membuat hidup saya tidak simpel. Rasanya, menjadi sedikit ‘purba’ dengan tidak melulu mengandalkan teknologi layak untuk dicoba.

Semakin hari teknologi di dunia semakin maju, dan semakin hari kita makin bergantung pada teknologi-teknologi itu, setiap hari selalu ada terobosan baru yang ditemukan oleh manusia, kita semua sama-sama bergerak menuju dunia yang serba modern dan virtual. Di sela-sela berlari menuju dunia yang serba ‘maya’, saya ingin lebih khusyuk menjalani hidup saya di dunia nyata.

Itu baru satu dan dua hal, diskon dan promo bisa dibilang termasuk konsekuensi kecil dari majunya teknologi. Ada hal yang jauh lebih besar, dan lebih rumit.

Kita masuk di era Me generation. Istilah unik yang baru saya tahu beberapa waktu lalu dari story WhatApp salah seorang teman. Generasi yang tumbuh besar di tengah globalisasi dan majunya teknologi. Nilai-nilai, karakter, dan identitas generasi ini dipengaruhi oleh teknologi informasi dan dunia maya.

Me generation adalah generasi yang menjadikan diri sendiri sebagai pusat perhatian. Teknologi memberikan kita kemudahan untuk memperoleh perhatian publik. Dunia maya membentuk kita menjadi orang-orang yang haus atensi dan selalu butuh panggung. Tidak heran, kebanyakan kita sekarang sangat mempedulikan citra diri sendiri.

Narsis dan egois adalah konsekuensi yang paling sering kiata jumpai. Apakah narsis termasuk hal yang buruk? Entahlah. Tapi kita semua sepakat segala hal yang berlebihan itu tidak sehat. Setiap dari kita merasa perlu menjadi lebih dari yang lain. Lebih banyak perhatiannya, lebih dipandang, lebih wow, dan lebih-lebih lainnya. Teknologi telah mengatur cara generasi kita dalam menilai berbagai hal. Tidak perlu mengelak, kita pasti senang ketika story WhatsApp kita dilihat banyak orang, ketika postingan kita di Instagram mendapat banyak like, ketika cuitan kita di Twitter mendapat banyak retweet dan tanggapan. Berapa kali dalam sehari kita mengecek jumlah penonton status media sosial kita? Kita cenderung menilai banyak hal dengan nominal, angka.

Dalam perlombaan menjadi yang paling wow ini, peluang kita untuk gagal terbuka sangat lebar. Bukankah kita sering melihat postingan milik orang lain dan bergumam, betapa bahagainya mereka dengan hidup mereka? Betapa menariknya hari-hari mereka, dikit-dikit apdet story. Tidak hanya kesenangan, beberapa dari kita juga berlomba menampilkan kesedihan kita, bercerita seolah-olah kitalah manusia paling sedih di dunia, yang paling capek, yang paling banyak kerjaannya, yang paling berat bebannya, karena gagal menarik perhatian dengan cerita-cerita menyenangkan, kita beralih menjual cerita-cerita yang menarik rasa iba. Tidak sepenuhnya benar. Tidak setiap dari kita selalu demikian. Tapi disadari atau tidak, setiap hari kita akan selalu berusaha menyamakan frekuensi kita dengan teman-teman kita di media sosial. Ketika melihat postingan teman-teman kita sedang berkumpul dan berlibur, kita ikut-ikutan, ketika teman-teman memposting mereka sedang mengerjakan tugas kuliah, tengah malam mengejar deadline, menyelesaikan proker organisasi, kegiatan UKM, skrinsutan zoom meeting dan google meet, bagaimana kocaknya grup WhatsApp mereka, bukankah dalam hati kita juga tergiur untuk menampilkan hal yang sama?

Media sosial memberi makan narsisme kita setiap hari, dan itu konsekuensi yang masing-masing harus kita tanggung karena sama-sama lahir dari rahim globalisasi dan tumbuh besar dengan majunya teknologi. Tapi ada yang lebih saya takutkan daripada persoalan narsis dan egois ini, yaitu kejujuran saya kepada diri sendiri.

Berkat media sosial, banyak hal yang kita lakukan menjadi semakin menarik. Kita mampu menjangkau banyak orang. Ketika kita berkekspresi melalui media sosial, membuat dan membagikan karya kita disana, dengan mudah ratusan bahkan ribuan orang bisa melihatnya. Tentu hal yang menyenangkan, siapa yang tidak senang ketika diapresiasi? Semakin banyak jangkauan karya kita, rasa senang itu akan bertambah.

Tapi demikian bisa saja kita jatuh ke dalam jurang narsisme dan egois, berbuat banyak dan menciptakan banyak hal berkedok kebutuhan ekspresi, padahal itu semua hanya untuk memenuhi keinginann kita akan perhatian.

Kita dengan mudah berbuat baik dan mengajak orang lain kepada kebaikan, dengan media sosial tentu kebaikan itu akan menjagkau banyak orang. Tapi dengan banyaknya perhatian atas kebaikan yang kita lakukan tadi, apakah kemudian niat kita masih murni untuk membantu sesama? Atau berubah menjadi sarana untuk menarik perhatian orang lain? Kita berbuat baik untuk orang lain atau untuk diri kita sendiri? Coba tanya ke diri kita sendiri, kenapa di abad ke-20 ini, perlu banget ya posting kebaikan pake watermark?

Kita berada di era industri, zaman dimana tidak ada yang gratis, apapun itu harus ada bayarannya. Media sosial memudahkan kita menjadi makhluk industri yang kaffah, yang mempertimbangkan benefit dari berbagai hal yang kita lakukan. Menuhankan profit yang ibadahnya adalah transaksi. Apa yang kita dapat tidak melulu soal uang, melainkan semua hal yang mampu memuaskan kebutuhan kita untuk bertahan hidup di dunia indutri ini. Sorotan misalnya, highlight? Engagement? Apresiasi? Feedback? Kepercayaan? Relasi? Bukannya semua hal yang kita lakukan sekarang adalah transaksi?

Mungkin kita akan bahagia mendapat semua hal tadi, siapa sih yang nggak suka dianggap dan diperhatikan? Semua orang suka diperhatikan. Semua orang suka dielu-elukan. Tapi akan sangat melelahkan jika semua hal yang kita kerjakan selalu berorientasi pada hal-hal tadi. Lagi-lagi, semua hal yang berlebihan selalu tidak sehat. Jangan-jangan, tanpa semua balasan tadi, kita tidak akan lagi mengerjakan berbagai hal, tidak lagi berkarya, tidak lagi berbuat baik dan mengajak kepada kebaikan, jangan-jangan semuanya harus ada bayarannya.

Saya mencoba jujur kepada diri saya sendiri, apakah itu semua yang benar-benar saya inginkan? Yang saya butuhkan? Untuk apa saya menyenangkan banyak orang, berkarya, berbuat baik, dan berbagi? karena saya merasa perlu melakukan itu semua, kah? Atau karena saya ingin diperhatikan dan dilihat oleh dunia? Menumpuk semua atensi dan sorotan yang orang lain berikan untuk tujuan yang entah apa.

Sejak SD saya sering mendengar dari banyak orang yang mengatakan bahwa kita harus menggunakan teknologi (media sosial) dengan bijak. Saya selalu bingung bagaimana kita mengartikan kata bijak, bagaimana saya mengerjakan sesuatu yang saya sendiri tidak paham artinya.

Oke, menggunakan teknologi dengan bijak, tapi bijak yang bagaimana?

Setelah banyak hal terjadi pada saya, termasuk semua keruwetan hidup, saya akhirnya menemukan makna bijak yang rasanya cocok bagi diri saya untuk saat ini:

Cara bijak menggunakan teknologi adalah dengan cara menguranginya.

Tinggalkan komentar