Coffeeshop: Antara Kebutuhan dan Gaya Hidup

Saya bukan anak tongkrongan. Saya suka nongkrong, tapi tidak sesering itu. Saya sering melewatkan ajakan nongkrong teman-teman saya (kebanyakan teman kuliah), salah satu alasannya adalah karena pilihan tempat nongkrong mereka. Walaupun tidak selalu, teman-teman saya memilih coffeeshop sebagai tempat nongkrong. Saya keberatan dengan pilihan tempat itu, alasannya jelas: harga menu yang mahal. Tentu saya punya pilihan untuk tidak memesan makan atau minum ketika nongkrong, tapi akan sangat membosankan ketika obrolan sudah selesai dan saya plonga-plongo ditinggal mabar oleh teman-teman saya.

Mungkin memang gaya hidup saya dengan teman-teman saya berbeda, bagi mereka nongkrong di kafe-kafe kekinian adalah hal yang biasa. Walaupun saya sering bertanya-tanya, apa nggak ada tempat lain yang nyaman untuk nongkrong? Apa nggak nyesel bayar mahal ‘cuma’ untuk segelas kecil kopi? Sedangkan bagi saya sendiri es teh seharga lima ribu saja sudah termasuk mahal.

Selain nongkrong, kafe-kafe kekinian juga sering jadi rujukan teman-teman saya untuk mengerjakan tugas kuliah. Maksud saya harus banget ya, duduk di kursi kafe dulu baru bisa mengerjakan tugas kuliah? Harus banget mabar mobel lejen di coffeeshop?

Ternyata memang tidak harus. Orang-orang, termasuk teman-teman saya yang hobinya ke coffeeshop juga bisa nongkrong di tempat lain, warung makan atau angkringan yang harganya jauh lebih murah. Di lain kesempatan, orang-orang yang biasa ngajak saya nongkrong di coffeeshop, mereka juga mengeluhkan harga menu di coffeeshop yang mahal. Saya jadi bertanya-tanya, lha terus kenapa kemarin-kemarin ngajak nongkrong disana? Gaya-gayaan doang? Atau memang sekarang finansial sedang seret, sehingga beli kopi seharga 20 ribu terasa eman-eman? Saya jadi kepikiran apa sebenarnya penyebab coffeeshop digemari orang-orang terutama anak muda, bahkan dikit-dikit sekarag muncul coffeeshop baru.

Sudah pasti maraknya bisnis coffeeshop adalah gejala gaya hidup anak muda. Gaya hidup disini tidak terbatas pada praktik konsumtif dan hedonis ala masyarakat modern, yang mana belum dihitung makan kalau harganya tidak mahal. Gaya hidup disini juga berarti kebiasaan kini yang suka menampilkan citra.  Dan nongkrong di coffeeshop adalah suatu indikator citra yang menujukkan suatu status dan kelas sosial tertentu.

Bukankah banyak kita jumpai perkataan-perkataan semacam; “nggak level bos kalau nongkrongnya nggak di starbucks”, sebagaimana banyak kita jumpai juga cerita pasangan muda mudi yang pedhot sebab keduanya berbeda kelas, yang satu nongkrong di kafe sedangkan satunya hanya mampu sarapan di warteg. Belum lagi tempat nongkrong yang aesthetic dan instagramable sebagai sarana meraup engagement di media sosial yang seakan sudah jadi tujuan hidup kawula muda modern.

Sering juga kita alami ketika harus bertemu dengan seseorang, entah dengan seorang kolega untuk membahas kerjaan, atau seseorang yang kita ingin tampil wah di hadapan mereka,  kita memilih untuk melangsungkan pertemuan di kafe-kafe kekinian. Bodo amat harga menunya yang mahal dan tidak mengenyangkan, yang penting gengsi terpenuhi, “yakali ketemu orang penting di burjo?”

Jadilah masuk akal mengapa harga menu di kafe-kafe kekinian mahal, karena yang kita beli adalah kelas sosial dalam kemasan gelas plastik, juga termasuk biaya langganan wifi guna menunjang kegiatan mabar. Rela menahan lapar karena menu yang tidak mengenyangkan, barangkali asam lambung karena terus-menerus mengonsumsi kopi, itu semua dilakukan sebab kini gaya hidup lebih penting daripada hidup itu sendiri.

Ada juga orang-orang yang gemar srawung di coffeeshop dengan tujuan lain, selain tujuan gaya hidup dan citra. Yaitu orang-orang yang datang ke coffeeshop karena kebutuhan akan workspace alias tempat ngetik dengan sirkulasi ide lancar dan sedia colokan kalau-kalau batre laptop habis. Tempat kerja atau workspace ini merupakan tuntutan zaman, dimana walaupun sekarang bekerja serba online tetapi para pekerja kreatif dan insan indutri ini tetep butuh ruang dengan wifi yang kenceng, dan tempat yang aesthetic demi keperluan background zoom meeting. Tidak bisa dipungkiri, wifi kenceng, colokan, serta tempat cozy yang memisahkan orang-orang smoking dengan yang non smokingagar ide lancar mengalir ini belum bisa ditemui di warung-warung makan konvesional, kebutuhan akan workspace ini diakomodasi oleh coffeeshop.

Selain menunjang profesi, Coffeeshop juga sudah menjadi kebutuhan untuk piknik. Coffeeshop lahir bukan dari kebutuhan efisiensi, yaitu menyediakan makan bagi orang-orang yang waktunya terbatas sehingga tidak bisa memasak sendiri, melainkan kebutuhan rekreasi, yang bisa berarti, berlama-lama duduk disana (urusan kenyang nggak kenyang belakangan). Maka pemilihan coffeeshop sebagai tempat nongkrong atau mengerjakan tugas diniatkan sebagai healing, quality time bersama teman-teman, mabar, dan tempat untuk duduk dan ngobrol bersama sirkel.  

Perubahan fungsi ‘warung makan’ menjadi tempat rekreasi ini menimbulkan kontra dari generasi-generasi pendahulu, para orang tua yang mengeluhkan anaknya keluar tiap malam dengan alasan nongkrong (Ibu saya salah satunya). Seolah-olah rumah, pos ronda, atau masjid tidak lagi proper untuk dijadikan tempat diskusi. Deeptalk hanya bisa diraih jika duduk di kursi caffe bergaya industrial.

Maraknya coffeeshop ini tidak bisa dihakimi sebatas gejala gaya hidup belaka, karena menjamurnya coffeeshop juga dampak dari semangat “modern problem require modern solution”. Kegemaran manusia modern untuk nongkrong dan berdiskusi harus di tempat-tempat aesthetic dengan view yang ciamik bisa diartikan bahwa coffeeshop hadir sebagai kebutuhan zaman, atau jangan-jangan hal itu adalah pertanda bahwa makin kesini jiwa manusia modern semakin kosong, karena tak lagi mempan hanya dengan ngobrol dan tengak-tenguk di rumah?

Satu tanggapan untuk “Coffeeshop: Antara Kebutuhan dan Gaya Hidup

Tinggalkan komentar