The Batman: Memanusiakan Superhero, bukan Mensuperherokan Manusia

Saya berharap teman-teman saya yang menggemari Marvel lebih dari DC akan membaca tulisan ini, apalagi mereka yang mengunggulkan Marvel lebih dari DC dengan alasan “film-film DC suram dan nggak seru”. Tidak ada maksud apa-apa dibalik tulisan ini, saya penggemar keduanya, kok.

Saya akan mencoba meminimalisir spoiler dan menulis se-mudah dipahami mungkin. Tapi kalau masih belum kesampean, yaa mohon maaf. Wkwkwk…

2 Maret kemarin, film terbaru dari DC resmi rilis di Indonesia. The Batman. Ya, ini film Batman yang kesekian kalinya dalam sejarah. Dengan pemeran yang baru, untuk kesekian kalinya juga. Batman aka Bruce Wayne disini diperankan oleh Robert Pattinson, si vampir Twillight itu.

Walaupun ramai, tapi film The Batman ini tidak seramai film superhero yang lebih dulu rilis di awal tahun ini, Spider-Man: No Way Home. Tiket pre sale The Batman di Solo bahkan tidak sold out, entah bagaimana di kota-kota lain, tapi saya cukup yakin kalau film ini tidak seramai film Spiderman.

Alasan terbesar kenapa The Batman tidak selaris Spiderman adalah karena ini bukan film Marvel. Film Marvel, baru rilis trailer perdana saja teman-teman saya sudah ramai ngajakin nonton, sedangkan film-film DC sudah rilis pun tidak ada satupun ajakan nonton untuk saya, bahkan tanggapan mereka, “Oh, ada to?”. Wajar. 10 tahun terakhir Marvel merajai industri film seluruh dunia. Tapi apa sebenarnya penyebab, DC kalah pamor dari Marvel? Apa hanya film-filmnya yang ‘suram’ dan minim komedi?

Sebelum kesana, saya ingin cerita sedikit sinopsis film The Batman. Film ini menceritakan tentang Bruce Wayne yang baru 2 tahun menjadi seorang Batman. Di tahun itu kota Gotham dihantui oleh seorang pembunuh berantai Bernama The Riddler (pemberi Riddle, teka-teki) yang megincar para nyawa para pejabat. Batman bekerja sama dengan kepolisian kota Gotham mencoba menghentikan The Riddler dan rencananya. Sisanya, bisa lihat sendiri di bioskop.

Ini memang film superhero, tapi film ini sangat berbeda dengan film-film superhero yang pernah ada sebelumnya. Ini adalah film Batman (dan DC) tergelap. Di film ini, yang paling ditonjolkan adalah sisi detektif Batman. Dibanding film action superhero, film ini lebih cocok dilabeli genre Thriller. Selama 3 jam kita akan diajak menyelesaikan teka-teka pembunuhan berantai. 3 jam! Durasi yang hampir sama dengan film Avengers: End Game.

Batman di film ini diceritakan masih muda, ambisius, temperamental, dan emosinya belum stabil. Disisi lain ia juga seorang Bruce Wayne, yatim piatu kaya raya yang tinggal di tengah kota yang luar biasa korup, seorang pemuda stress yang dipenuhi dendam dan ketakutan. Tapi itu justru kekuatan dari film ini (dan film-film DC). Batman di film ini bukan diberi label superhero, melainkan vigilante, orang aneh bertopeng yang main hakim sendiri. Batman dicurigai, ditakuti, bahkan beberapa kali jadi buronan polisi. Batman memang tidak membunuh, tapi dia sadis dan berdarah dingin. Bagi rakyat Gotham, Batman bukan simbol harapan melainkan lambang ketakutan, hantu yang setiap malam diceritakan kepada anak-anak. Batman di film ini mengejar penjahat bukan atas dasar menegakkan keadilan dan mencintai kebenaran, tapi justru karena dendam masa lalunya. Orang tuanya dibunuh oleh seorang penjahat, dan ia menyalurkan dendamnya itu kepada semua penjahat di kota Gotham. Alih-alih menunjukkan sisi-sisi heroisme, kita justru akan melihat Batman disini sebagai “pemuda yatim piatu stres yang sebaiknya berkunjung ke psikolog dan menyelesaikan semua masalah dengan uangnya”

Di film ini saya akhirnya paham, kenapa di setiap film Batman, cerita tentang masa kecilnya selalu diulang-ulang. Karena semua kejahatan di kota Gotham ada sangkut pautnya dengan Batman. DC tidak menampilkan Batman sebagai seorang juru damai yang datang untuk melawan kejahatan, tapi Batman termasuk produk kejahatan itu, Batman bukanlah orang yang ‘suci’. Tidak hanya ‘suram’ secara sinematografi, DC juga seram secara alur cerita.

Cara DC menceritakan superhero mereka inilah yang unik dan berbanding terbalik dengan cara Marvel menceritakan superhero mereka. Superhero versi Marvel diceritakan nyaris maksum. Manusia sempurna yang dielu-elukan oleh semua orang, diidolakan, dan dijadikan panutan. Mereka tetap memiliki konflik pribadi, tapi konflik itu selalu selesai, dan rasa-rasanya tidak se-mengerikan konfil superhero milik DC.

Iron Man memang yang menciptakan si robot jahat Ultron (Avengers: Age of Ultron), tapi diakhir cerita ia tetap dielu-elukan, Thor adalah dewa paling ganteng, Captain America adalah veteran perang yang sangat menjaga lisannya, Spiderman walaupun masih remaja, tapi ia membuktikan kalau yang muda juga bisa diandalkan. Dan film-film mereka selalui dikemas dengan drama dan komedi yang seolah-olah ingin menunjukkan, bahwa walaupun melelahkan, hidup menjadi superhero adalah hidup yang membahagiakan.

Ditambah lagi, sejak diakuisisi Disney, film-film Marvel selalu sarat nilai moral dan isu-isu yang sedang hangat di dunia. Marvel dan Disney gencar ‘berpolitik’ melalui film. Black Panter bicara soal Black Lives Mater, superhero Wanita Marvel bicara soal kesetaraan gender, Sang Chi membawa misi persamaan ras, dan semua itu dikemas dengan cerita yang tidak hanya colorful, tapi juga meaningful, seolah-olah selalu ada nilai yang bisa diambil dari setiap film Marvel.

Bukankah ‘romantisisasi’ adalah barang dagangan Disney? Romantisisasi makna keluarga, persahabatan, cinta, kepahlawanan, makna hidup (coba tonton film animasi Soul). Itu semua laris karena hal-hal semacam ini sangat relate dengan kehidupan kita.

Sangat berbeda dengan apa yang ditawarkan DC. The Batman bukan kali pertama bagi DC menceritakan superhero yang suram. Di film Justice League, Superman diceritakan membunuh orang, Batman diceritakan sudah tua dan lelah menjadi superhero. Di kesempatan lain, bukannya mengangkat superhero baru, DC justru memberi misi pada sekelompok penjahat sadis tak bermoral untuk menyelamatkan dunia di film Suicide Squad (2016), Birds of Prey (2020), dan The Suicide Squad (2021). Bahkan di serial terbaru DC, Peacemaker, yang diperankan oleh John Cena, seorang Peacemaker jauh dari sifat superhero. Mabuk-mabukan, misuhan, menghalalkan segala cara untuk menyelesaikan misi, pernah membunuh kakaknya sendiri, dan seorang anak dari bapak yang super liberalis rasis anti kulit hitam. Dan semua superhero tadi diceritakan dengan cara yang ‘tidak ramah’; penuh kekerasan, kata-kata kasar, adegan dewasa, kota yang korup.

Berbeda dengan Marvel yang berjaya dengan segudang kutipan positif penuh harapan serta menyebarkan pesan bahwa semua orang bisa jadi superhero, seperti “With great power comes great responsibility”. Film-film DC justru penuh dengan ungkapan-ungkapan realistis, seperti “We stopped checking for monsters under our bed, when we realized they were inside us”, serta umpatan, “Go Fuck Yourself”, dan “Son of a bitch”. Seperti disinggung di film The Batman; Sebelum menjadi baik, dunia harus menjadi lebih buruk dulu..

Ketika Marvel ingin men-superherokan semua manusia, DC justru ingin memanusiakan para superhero mereka. DC seakan tidak ambil pusing dengan segala moral value dan isu-isu yang sedang ramai di dunia, misi DC adalah memvisualkan komik-komik mereka, mengisahkan superhero dan dunia mereka seperti apa adanya. Saya pernah membaca salah satu tweet fans DC yang mengatakan, kalau menurutnya Marvel “terlalu SJW” sampai lupa essence of art. Wkwkwk…

Dipikir-pikir, penggemar superhero (terutama DC dan Marvel) harusnya tidak terbatas pada anak-anak remaja, malah harusnya didominisasi usia 30 keatas, orang-orang yang membaca komik superhero di masa mudanya, sama seperti Star Wars. Tapi melalui hegemoni Marvel Cinematic Universe, seolah-olah Marvel menyebarkan propaganda bahwa film superhero haruslah tontonan keluarga dan sarat nilai kehidupan (syukur-syukur bisa mendidik).

Film The Batman ini adalah cara DC menegaskan bahwa mereka tidak ikut-ikutan gayanya Marvel. Ke’suram’an DC adalah kekuatan dan ciri khas mereka. Akan sangat membahagiakan bagi saya sebagai penggemar Marvel dan DC, ketika DC sukses (lagi) dengan gayanya yang sendiri yang berbeda dengan Marvel. Semoga Batman versi Robert Pattinson ini bisa jadi gerbang bagi film-film DC yang juga ‘suram’ dan ‘tidak ramah’.

Terakhir, ada satu cerita di komik Batman yang saya harap muncul di film The Batman, tapi ternyata tidak. Cerita bagaimana Bruce Wayne melelehkan pistol yang digunakan sebagai senjata membunuh orang tuanya, kemudian menjadikan lelehan logam tadi sebagai armor di kostumnya. Sambil berguman, “So the metal that broke my heart as a child? That same metal will protect my heart as a man. And that is justice”.

Bacaan menarik lainnya tentang Marvel dan DC:

The Batman,Walikota, Polisi, Jaksa

Pasar DC beda dengan Marvel

Zack Snyder’s Justice League dan Pelajaran Marketing

Peacemaker Wkwk

Bagi Marvel, Stan Lee Bukan Hanya Kameo

Sejarah Persaingan Marvel dan DC

3 tanggapan untuk “The Batman: Memanusiakan Superhero, bukan Mensuperherokan Manusia

Tinggalkan komentar