Dendam Lightning McQueen

Enaknya punya halaman nulis sendiri yang tidak terikat dengan siapapun adalah, saya bisa nulis apapun yang saya mau. Entah ada yang baca atau tidak, ada yang suka atau tidak. Dan lucunya, belakangan saya lupa akan hal itu.

Setiap kali dihimpit kesibukan (kali ini tugas kuliah), satu hal yang saya rindukan selain berlibur adalah nulis di blog. Belakangan kuliah saya sumpek sekali dengan tugas, keinginan untuk nulis blog sudah memuncak, tapi akhir-akhir ini ide tidak muncul-muncul. Sampai saya ingat, saya kan bebas nulis apa saja ya. Apa saja yang penting nulis. Belakangan saya sadar, menulis adalah  salah satu cara saya menjaga kewarasan.

Maka ini tulisan yang akan berbeda dengan beberapa tulisan sebelumnya. Tulisan seenaknya.

Belakangan ini saya sering menanyakan hal yang sama ke teman-teman saya, apa film animasi favorit mereka.

Jawabannya beragam. Ada yang menyebut Toy Story, Coco, Spiderman into Spiderverse, ada juga yang bilang animasi favoritnya Kung Fu Panda. Yang terakhir ini alasannya menarik, katanya film Kung Fu Panda mengajarkan dia tentang penerimaan diri.  Kebetulan yang terakhir itu dijawab oleh teman saya yang berbadan besar. Wkwkwk…

Tapi tidak sedikit juga orang-orang yang keulitan menentukan film animasi favorit mereka. Entah karena terlalu banyak nonton, atau memang tidak begitu senang dengan genre animasi. Saya sendiri memang penggemar film animasi, saya cukup banyak menyaksikan film animasi, dan saya tidak kesulitan menentukan yang mana favorit saya.

All time film animasi favorit saya adalah: Cars!

Film ini sudah trilogi, yang menjadi favorit saya adalah yang pertama (2006). Saya menikmati film Cars 2, tapi untuk yang ketiga saya rasa kurang bagus.

Alasan kenapa Cars jadi film animasi favorit saya adalah karena saya dendam dengan Lightning McQueen! Wkwkwk…

Dulu ketika pertama kali menonton film Cars (saya lupa kapan yang pasti waku itu masih kecil), saya benci ending dari filmnya. Adegan dimana McQueen hampir menyelesaikan balapan tapi berhenti di ujung garis finish untuk menghampiri Strip Weathers (lebih akrab dengan panggilan Dinoco), si mobil biru.

Saat itu yang saya pikirkan dalam benak saya adalah, ‘McQueen ini tolol ya!’. Kan, dia bisa menyelesaikan balapan dulu, baru putar balik mendorong Dinoco. Setelah semua perjuangan yang dia lakukan di Radiator Spring, dia memilih berhenti di ujung garis finish dan membiarkan Chick (mobil hijau) memenangkan balapan. McQueen blas ra masuk!

Hal ini yang kemudian menjadi dasar atas kebencian saya kepada Lightning Mcqeen. Fakta bahwa saya ‘membawa dendam’ itu sampai dewasa, cukup menjadi alasan saya menjadikan film ini sebagai animasi favorit. Film yang terus terngiang-ngiang.

Butuh waktu cukup lama bagi saya untuk tahu yang sebenarnya. Soal moral value film Cars ini. ‘Ya kalau McQueen jadi juara 1 mana cerita heroiknya?’ Dan ini bertahap, maksudnya butuh waktu sampai saya benar-benar paham maksud film ini.

Awalnya saya anggap pesan utama film ini adalah tentang kerelaan berkorban. Perilaku McQueen mendorong dan mendahulukan Dinoco melintasi garis finish adalah bentuk kerelaan McQueen untuk menolong.

Belakangan saya sadar ternyata itu kurang tepat. Main Message film Cars ini bukanlah kerelaan berkorban atau keberanian menolong. Tapi: kerendah hatian. Untuk sampai di pemahaman ini pun saya harus nonton ulang filmnya.

McQueen di film diceritakan sebagai seorang (sebuah) mobil barap yang arogan. Rookie, anak kemarin sore di dunia balap yang langsung menduduki pole position dan bersikap jumawa. Di balapan pertama di film, McQueen menolak mengganti bannya, yang menyebabkan bannya meletus di lap terakhir. Ia tidak menghargai krunya, bahkan tidak memiliki kepala kru. Menolak hadir di tengah acara yang menyenponsorinya. McQueen egois, tidak mengizinkan Mack,  truk pengangkutnya untuk istirahat di perjalanan, akibatnya McQueen terjatuh dari container dan nyasar ke Radiator Spring. Sampai di Radiator Spring, McQueen arogan, merendahkan dan merasa tidak level dengan penduduk sana.

Hidupnya kemudian berubah setelah tinggal di Radiator Spring. Yang awalnya di tahan dan dipaksa membetulkan kerusakan yang ia buat, McQueen malah menikmati kehidupannya disana, bahkan mendapat sahabat baru, salah satunya Tow Mater. Kehidupan ‘pedesaan’ memaksanya menghapus sifat arogan, berteman dengan siapa saja, dan merenahkan hatinya.

Selama di Radiator Spring, McQueen berhasil memenangkan perlombaan sejatinya, bukan mengalahkan Dinoco ataupun Chicks, tapi mengalahkan dirinya sendiri. Mengalahkan jumawanya. Dan di film ini digambarkan dengan sangat jelas. McQueen benar-benar tidak memenangkan pertandingan, tapi ia memenangkan segalanya. Akhirnya ia punya teman, punya kru tetap, bahkan diketuai oleh legenda balap, Hudson Hornet, fans nya semakin banyak, meski tidak juara tapi McQueen dapat tawaran gabung di tim Dinoco, ia punya rumah untuk pulang, dan McQueen menemukan cintanya.

Bagi saya, film ini dan semua pesan didalamnya sangat berharga, kalau saja dulu saya tidak dendam dengan McQueen, mungkin saya tidak akan segembira dan selega ini ketika akhirnya tahu yang sebenarnya.

Setelah menonton ulang film Cars, saya jadi bertanya-tanya, apakah ini berarti saya harus menonton ulang semua film-film masa kecil saya, agar saya bisa paham dan akhirnya ‘dendam’ dan ketidaktahuan saya terselesaikan? Atau karena kebetulan saja film Cars ini begitu dekat dengan saya? (Selain menyukai mobil, isu arogansi dan kerendahan hati ini sangat dekat dengan saya, Wkwkwk…) Mungkin teman-teman perlu bertanya, kiranya apa film favorit kalian, dan kalau ada waktu luang coba tonton ulang.

Buat pengingat, memeilhara dendam keresehan itu melelahkan, tapi ketika jawabannya ketemu, itu akan sangat menyenangkan!

Tinggalkan komentar