Anak Pindahan

Saya harus bersiap. Saya akan memasuki fase baru lagi dalam hidup saya.

Saya akan mengalami banyak hal baru, bertemu banyak orang baru, melakukan perjalanan-perjalanan baru, dan berhadapan dengan banyak masalah baru.

Saya masaih berada di tengah kegiatan magang saya, menyelesaikan banyak tugas, di saat yang sama saya harus mulai memantapkan pilihan saya perihal dunia kerja, seberapa yakin say ajika harus pergi meninggalkan ibu dan adik-adik di rumah, meningkatkan kesabaran dan menjaga motivasi saya sebagai fans Emyu karena musim baru sudah bergulir, dan yang terbaru saya harus mulai menentukan judul skripsi.

Saya yakin masalah tidak akan pernah selesai dalam hidup saya, begitu juga hdup orang lain. Selesai satu muncul yang baru, begitu seterusnya. Sudah banyak episode dalam hidup dimana saya bergelut menyelesaikan masalah, dari yang sepele sampai yang membuat saya berat untuk menjalani hidup.

Dari sekian banyak episode pertemuan saya dengan masalah, salah satu yang tidak ingin saya ulangi adalah merespon masalah tadi dengan khawatir dan ambil pusing. Perjalanan hidup dan pertemua dengan banyak orang menyadarkan saya bahwa, ada 1001 cara menyelesaikan masalah, dan setahu saya khawatir dan ambil pusing bukan salah satunya.

Kesadaran tadi mengantarkan saya sampai di level ini. Saya semakin lihai jika berhadapan dengan masalah, tapi tidak jarang juga saya ceroboh dan dikalahkan oleh masalah. Keledai memang tidak jatuh di lubang yang sama, tapi sayangnya kita bukan keledai.

Karena tidak mau kalah dari keledai, kini tiap kali berhadapan atau akan berhadapan dengan masalah saya selalu melihat ke belakang, menengok kembali Buku Besar Penyelesaian Masalah, mencari referensi strategi mengalahkannya, dengan senjata apa saja saya mampu memenangkan pertempuran.

Saya ingat sekali masalah besar pertama yang saya hadapi dalam hidup. Persoalan yang menyebabkan saya sulit tidur, kepikiran setiaap saat setiap waktu, bahkan gara-gara hal itu saya sampai sempat membenci Ayah saya.

Persoalan itu adalah pindah sekolah. Lebih tepatnya, saya takut bagaimana harus beradaptasi di lingkungan yang baru. Ketika itu saya pindah ketika sedang nyaman-nyamannya berangkat bersekolah, menemukan ritme sehari-hari dan berada dalam circle pertemanan yang menyenangkan. Ketika mendapat kabar harus pindah sekolah dan meninggalkan semua kenyamanan tadi, seketika saya membenci Ayah, penyebab kami sekeluarga harus pindah.

Hari-hari itu saya lalui dengan berlatih memperkenalkan diri di depan teman-teman saya di sekolah baru. Ketika mandi, ketika mau tidur, ketika makan, di sela-sela bermain bola, saya selalu mengulang-ulang kalimat yang sama “Nama saya Gibran, dari Solo, pindah karena Ayah pindah kerja…” macam orang yang akan berpidato di depan banyak orang. Kekhawatiran sering hinggap di kepala saya ketika itu. Bagaimana kalau saya tidak di dengarkan, baaimana kalau mereka ketawa, bagaimana kalau mereka nggak tahu Solo itu dimana, bagaimana kalau di tengah-tengah perkenalan saya lupa.

Tapi pada akhirnya saya berhasil melewatinya, tanpa kekurangan satu apapun, bahkan pindah sekolah yang semula momok bagi saya berubah menjadi salah satu hal yang saya syukuri. Berkat pindah sekolah saya bisa jadi seperti ini, sampai sekarang saya masih ngotot kalau dulu saya adalah anak yang cukup pendiam. Wkwkwk…

Masalah yang dulu jadi salah satu ketakutan terbesar saya sekarang jadi bahan cerita dan tertawaan. Dulu rasanya berat sekarang rasanya sepele dan tidak ada apa-apanya. Tahu-tahu sekarang saya sudah lulus sekolah.

Bocah kelas 4 SD yang takut pindah sekolah itu, sekarang harus segera menentukan judul skripsi.

Semua masalah selalu begitu. Dulu rasanya berat. Hidup kayanya bakal selesai karena masalah ini, tapi setelah berlalu dan dipikir-pikir lagi itu semua sepele. Banyak masalah yang jauh lebih besar dan berhasil kita lalui, ujung-ujungnya msalah besar tadi jadi sepele juga.

Menyelesaikan ujian tahfidz misalnya, melakukan liputan investigasi ke Tempat Pembuangan Akhir, menjadi panitia qurban, terlibat dalam produksi film pendek, menggantikan peran Ayah ketika sedang diluar kota, pada akhirnya semua masalah itu saya lewati. Dan semua masalah tadi terasa sepele.

Akhirnya saya tahu, di waktu itu, ketika berhadapan dengan masalah, yang menyebabkan hidup menjadi berat adalah karena kita merasa perlu tahu solusinya. Sibuk memikirkan jalan keluarnya, dan khawatir apakah jalannya benar. Saya merasa perlu tahu bagaimana cara berkenalan yang benar sebagai seorang anak pindahan, dan merasa perlu tahu bagaimana tanggapan teman-teman di sekolah baru saya.

Padahal bukan begitu cara kerjanya. Hidup akan selalu menemukan jalannya. Yang harus kita lakukan bukan mencari tahu solusinya, tapi bertahan. Masalah akan terurai. Pelan-pelan.

Ketika sedang kehujanan atau kepanasan di bawah terik matahari, dan ketika itu kita tidak punya tempat berteduh, kita tidak perlu tahu caranya menghentikan hujan atau memindahkan matahari. Kita cukup bertahan. Hujan akan reda, awan akan datang. Wkwkwk…

Saya yakin khawatir tidak menyelesaikan masalah, dan salah satu cara meminimalisir khawatir adalah dengan melihat kembali apa yang sudah kita lakukan. Alih-alih mencari judul skripsi, saya justru mengingat kembali masalah terbesar pertama saya.

Tapi setidaknya saya tidak khawatir. Tidak ada jaminan saya tidak akan mengulang kesalahan yang sama, tapi setidaknya saya bukan lagi bocah kelas 4 SD yang cemas karena harus pindah sekolah. Wkwkwk…

Apa masalah terbesar pertamamu dalam hidup?

Tinggalkan komentar