Belajar Mengisi Kemerdekaan

Magang kali ini jadi pengalaman yang berkesan bagi saya, karena untuk pertama kalinya saya ngekos. Bukan karena saya merasakan hidup sendiri untuk pertama kali. Walaupun selalu ada hal baru yang saya pelajari, saya selalu merasa dasar-dasar hidup mandiri sudah saya khatamkan selama 6 tahun mondok. Berhemat dan manajemen waktu bukan hal yang baru bagi saya.

Bukan itu yang menjadikan ngkos kali ini berkesan. Tapi karena kos-kosan saya berada di tengah kampung di desa. Di Kecamatan Paciran, Lamongan. Desa Penanjan namanya.

Sama halnya dengan kebanyakan desa. Tenang suasananya. Guyub rukun warganya. Orang-orang desa, termasuk warga desa disini belum mengenal individualis. Kampung tempat saya ngekos hidup. Banyak acaranya. Ibu-ibu disini masih sering berkumpul di pinggir jalan, bergosip. Anak-anak mudanya, walaupun sudah terpapar mobel lejen, masih nongkrong dan main-main di balai desa bahkan sampai malam. Mabar dalam artian sesungguhnya.

Di balai desa yang sama, setiap pagi berubah jadi pasar. Lapak-lapak digelar. Buah, sayur, jajanan pasar, nasi kuning, sampai makanan ringan dijajakan. Tempat saya dan teman-teman beli sarapan sekaligus bekal magang. Donat, molen, kadang juga bolang baling. Balai desa di bawah pohon beringin itu selalu ramai.

Tinggal di desa, ngekos di tengah-tengah masyarakat yang grapyak cukup menyenangkan bagi saya. Bukan cukup. Sangat. Saya kesini memang dalam rangka Kuliah Kerja Komunikasi, tapi diluar jam kerja saya merasa sedang healing. Semacam liburan. Kondisi desa yang tenang dan tidak tergesa-gesa, ditambah laut Jawa yang terhampar luas di seberang jalan Pantura, saya manfaatkan untuk menjalani hidup lebih tenang. Setiap pagi saya adalah momen mengamati aktivitas warga desa; ibu- ibu belanja, anak-anak sekolah, dan bapak-bapak pulang melaut dan memancing. Setiap sore saya menjadi anak indie. menikmati senja. Pulang dari magang disambut sinar matahari sore. Disini saya menjalani hidup saya dengan lebih khusyuk.

Jika di rumah, di Solo, setiap pagi saya tidak damai kecuali hanya sebentar saja. Mengingat rumah saya terletak pas di depan pintu masuk sekolah, mulai jam 6 pagi orang-orang sudah berebut membunyikan klakson kendaraan. Jam 7 nya saya menjadi bagian dari orang-orang itu. Mengantar adek ke sekolah, macet-macetan, dan sesekali merampas hak pejalan kaki.

Sore hari pun sama. Bahkan lebih gila. Jam pulang sekolah bertepatan dengan jam pulang kantor. Saking macetnya bahkan kendaraan saya tidak bisa keluar dari rumah sebelum macetnya tuntas. Hidup rasanya hanya perpindahan dari satu macet ke macet yang lain.

Disini, di desa Penanjan. Waktu pagi selalu saya tunggu-tunggu. Setiap jam 6 saya bergegas naik ke balkon kos-kosan. Berjemur sambil sesekali mendengarkan musik, lebih seringnya mendengarkan ayam berkokok. Begitu setiap hari sampai pukul 7.

Ritme desa yang pelan-pelan juga merembet ke keseharian saya yang lain. Saya berusaha hidup teratur, walaupun kata teman-teman saya masih urakan. Satu kebiasaan unik yang baru saya lakukan ketika ngekos adalah, ngecas hp sehari sekali. Saya hanya mengisi daya hp saya sehari sekali. Setiap subuh sampai berangkat ke kantor. Selain itu tidak. Berapapun sisa baterai hp saya.

Selain kelambatan, desa Penanjan juga menawarkan guyub rukun. Saya memang hanya numpang menetap, tapi saya merasa diterima dan menjadi bagian dari mereka. Bercanda dengan penjual jus, ramah tamah dengan ibu-ibu penjual nasi bungkus. Bersyukur sekali saya ngekos bertepatan dengan momen 17 an  Gang-gang dihias dengan lampu warna-warni. Banyak perlombaan. Pertandingan bola disaksikan ramai sekali menyerupai konser musik (Benar-benar ramai, sampai selesai pertandingan jalanan jadi macet orang-orang berhamburan keluar lapangan desa). Cabang perlombaannya pun beragam. Tidak hanya kategori anak-anak. Ada lomba gerak jalan khusus ibu-ibu! Bayangkan ibu-ibu yang umurnya tidak lagi muda baris-berbaris dan menyanyikan yel-yel kompak dengan seragam merah putih. Tempo hari Ibu kos saya bercerita, kalau Ibunya juga ngotot ikut lomba gerak jalan. Malam-malam encok karena berlatih gerak jalan. Pekan lalu saya melihat barisan ibu-ibu di jalan raya sambil memukul perabotan rumah. Rupanya persiapan lomba drumband. Jiwa kompetitif warga desa tak perlu diragukan. Termasuk di tempat saya magang. lomba antar karyawan diadakan selama 5 hari.

Saya yakin hal-hal ini yang besok akan saya rindukan ketika kembali ke kota. Termasuk jiwa kompetitif warga desa. Kemarin saya dan teman-teman bergurau; ‘Jiwa kompetitif inilah yang tidak dimiliki orang-orang kota. Orang desa kompetitif untuk mengisi kemerdekaan, karena passion. Kalau di kota, orang-orang kompetitif dalam perebutan duit dan jabatan’ Wkwkwk…

Hal serupa akan sulit ditemukan di kota. Mungkin ada beberapa. Di kampung-kampung yang masih hidup di sudut-sudut kota. Kampung-kampung yang desa. Kampung saya bukan salah satunya. Jangankan lomba, kerja bakti saja hanya dilakukan setahun sekali tiap mau Idul Qurban.

Bersyukurlah kalian yang tinggal di desa, atau yang tinggal di kota tapi lingkungannya masih desa.

Akses informasi dan pendidikan memang lebih mudah dicari di kota. Tapi bagi orang kota macam kita ini, ada hal-hal yang hanya bisa dipelajari di desa; cara mengisi kemerdekaan dan cara hidup yang tidak tergesa-gesa, misalnya.

Tinggalkan komentar