Budaya Typo

Kecanggihan teknologi mengubah manusia menjadi makhluk yang lucu. Manusia modern menghasilkan banyak kebiasaan -jika menyebutnya kebudayaan dirasa terlalu tinggi- yang aneh. Macet, khawatir berlebihan, dan menganggap hidup sebagai ajang perlombaan adalah sekian diantara kebiasaan kita sebagai manusia modern.

Jika ditarik garis lurus, semua kebiasaan manusia modern bermuara pada kemajuan teknologi yang dampaknya adalah hidup menjadi semakin instan. Canggihnya teknologi tidak bisa di stop, makin hari hidup makin instan. Teknologi yang awalnya mempercepat jadi terasa kecepetan. Alhasil jadilah manusia yang tergesa-gesa, karena tidak lagi bisa mengendalikan ke-serba instan-an, malah kita yang dikendalikan oleh ke-serba instan-an itu.

Satu lagi buah dari ketergesa-gesaan manusia modern yang susah menjamur dan membudaya dan setiap hari kita amalkan: typo. Typographical Error. Salah ketik.

Bisa kali typo disebut sebagai budaya, karena, kan typo tidak kita dapati pada masa yang lain. Ketika merangkai kata belum semudah sekarang ini, pada masa kejayaan mesin tik, menulis satu huruf dilakukan dengan cukup susah payah, sekali ada kesalahan harus dibetulkan dengan cukup susah payah juga. Mundur jauh lagi ke belakang, ketika berkirim pesan hanya bisa dilakukan melalui surat menyurat atau berkomunikasi dilakukan melalui goresan-goresan gambar di dinding, typo tidak terjadi di zaman itu.

Bahkan sebelum era qwerty, ketika papan ketik masih ABC DEF, praktik typo tidak dilakukan sebanyak sekarang ini.

Perlu kita batasi typo disini adalah salah ketik yang tidak dikoreksi tapi pesannya terlanjur disampaikan. Karena kalau sekedar salah ketik, semua manusia di semua zaman pasti melakukannya. Tapi tetap mengirim makna meskipun ada kesalahan merangkai pesan ramai dilakukan oleh manusia modern.

Sebab utama dibalik pesatnya perkembangan budaya typo ini adalah siapa lagi kalau bukan teknologi yang maha canggih itu sendiri. Semakin mudahnya mengetik dan menghapus, mempercepat kerja tangan manusia dalam merangkai kata, disitulah kemudian muncul salah ketik atau typo. Ditambah lagi fitur-fitur semacam autocorrect yang diniatkan untuk mempermudah malah berpotensi besar membuat rangkaian kalimat menjadi berantakan.

Mafhum kita tahu bersama, budaya typo ini memiliki sisi buruk yaitu munculnya salah sangka dan kebingungan dalam memaknai sebuah pesan. Hal ini bisa jadi fatal, banyak kita dapati kasus salah sangka karena typo yang berujung penolakan dan pertikaian. Contoh sederhana seperti; ‘wes mari?’ (sudah sembuh belum?) salah ketik menjadi ‘wes mati?’ (sudah meninggal?), ‘iya si,’ menjadi ‘iya su,’ (asu), atau ‘saya kasih tau,’ menjadi ‘saya kasih tai,’.

Tapi meski begitu bahayanya, sampai saat ini belum juga kita dapati adanya kiat-kiat menghapus budaya ini oleh umat manusia modern. Bukan karena kita yang menyepelekan ancamannya, barangkali karena kita paham, bahwa selain sebagai budaya, typo juga bisa kita maknai sebagai sebuah konsekuensi dari canggih dan instannya teknologi, yang dalam pemanfaatanya harus diimbangi dengan kehati-hatian.

Disisi lain, kita juga makin memahami mana pesan yang ditulis dengan benar dan mana yang typo, kita tahu ‘besat’ adalah salah ketik dari ‘besar’, bahkan kini kita hafal letak urutan huruf di papan ketik. Seperti halnya manusia-manusia sebelumnya, kita juga mengalami apa yang disebut dengan adaptasi

Kemampuan kita mengidentifikasi typo justru melestarikan budaya typo itu sendiri. Typo tidak lagi dianggap masalah besar (terutama jika dilakukan dalam komunikasi non formal). Secara tidak langsung, manusia modern sepakat bahwa pesannya tidak akan disalahpahami hanya dengan salah ketik 1-2 huruf. ‘Tai’ dalam kata ‘saya kasih tai’ akan dimaknai dengan tau (tahu), bukan diartikan sebagai kotoran atau produk buangan saluran pencernaan.

Budaya typo menjadi unik, karena pertanda semakin modern kehidupan, manusia bisa menyampaikan dan menerima pesan dalam bentuk apapun, termasuk rangkaian kata yang berantakan dan banyak typo-nya. Dan barangkali typo itu sendiri juga merupakan sebuah pesan; bahwa kecanggihan teknologi mempersingkat waktu yang ada, bahkan untuk menghapus dan mengoreksi kalimat pun dirasa membuang-buang waktu.

Typo adalah warisan budaya, representasi dari peradaban digital yang serba tergesa-gesa. Tidak perlu dijaga, nanti juga lestari sendiru.

Wkwkwk…

Tinggalkan komentar