Siapa yang Merdeka, Saya atau Satwa?

Pekan ini akan menjadi pekan terakhir kegiatan magang saya di kebun binatang. Penugasan saya dan teman-teman selama magang hampir tuntas semuanya, kami juga sudah mulai memikirkan susunan laporan magang (baru mikir, belum bikin). Belakangan saya dan teman-teman jadi sering melihat ke belakang, berandai-andai jika kami tidak magang di tempat yang sekarang kira-kira kami akan magang dimana.

Teman saya berkata, beberapa dari teman seangkatan kami mendapatkan tempat magang sesuai keinginan mereka. Ada yang ingin magang dekat rumah, ada yang ingin jauh dari rumah, ada yang magang di perusahaan kosmetik, di perusahaan transportasi, kementerian, bahkan di perusahaan miliki sanak famili atau bahkan miliki mereka sendiri, dan magang di kebun binatang sendiri adalah keinginan teman saya. Sedangkan saya? Apakah keinginan saya terwujud? Itu lain cerita. Bahkan saya tidak tahu benar apa keinginan saya.

Ide magang di tempat wisata (termasuk kebun binatang) adalah salah satu ide yang bisa dibilang gila diantara teman-teman saya. Ketika kebanyakan dari kami mendambakan magang di berbagai perusahaan dengan nama besar, mulai dari kementerian sampai media, teman saya mengajak saya untuk magang di kebun binatang.

Ketika itu saya pikir magang di kebun binatang akan sangat mengasyikkan, teman-teman lain yang mendengar rencana kami pun kaget, antara takjub dan heran, beberapa yang lain meragukan. Jika diterima maka kami kami jadi mahasiswa dengan pilihan tempat magang paling random, tapi disisi lain tempat-tempat yang ingin kami tuju tidak membuka lowongan magang secara terbuka. Sudah random, ditambah nekat.

Waktu itu dalam pikiran saya, jika kami berhasil diterima magang di kebun binatang pasti akan jadi pengalaman yang berkesan, plus saya juga berpikiran sepertinya akan banyak teman-teman yang iri karena kami bisa magang di sebuah tempat wisata.

Saya tidak benar-benar yakin apa yang saya inginkan di kegiatan magang saya kali ini. Bahkan saya tidak punya keinginan apapun. Soal pilihan di kebun binatang, saya hanya termakan hasutan seorang teman. Kebetulan dia sudah pernah magang sebelumnya, katanya magang di kantor, seharian di depan laptop dengan ruangan ber-AC sangat membosankan. Ide untuk magang di kebun binatang kemudian datang setelah saya bercerita saya mendapat info lowongan magang di salah satu organisasi konservasi hewan liar. Kami merasa itu adalah alternatif dari magang di kantor, duduk di depan laptop seharian. Singkat cerita, bersama dua teman saya, kami mengajukan lamaran magang ke berbagai tempat wisata dan kebun binatang, dan berakhir di kebun binatang ini.

Jika ada satu hal yang saya inginkan dari program kuliah kerja ini, adalah saya tidak ingin program ini jadi sekadar kegiatan ‘yang penting selesai’. Saya ingin program ini benar-benar berdampak dan berguna bagi saya kelak ketika masuk dunia kerja.

Hari pertama di kebun binatang, ketika kami berkeliling, saya sudah banyak memikirkan hal-hal menyenangkan apa yang akan kami lakukan selama disini. Kenyataannya tidak sama persis dengan apa yang saya inginkan. Hari-hari berikutnya kegiatan magang kami dipenuhi oleh penugasan dan revisi. 

Kegiatan di luar ruangan, iya. Dekat dengan alam termasuk satwa-satwa, iya. Tapi yang saya lupa. Saya datang kesini dengan tujuan magang, bukan berlibur. Saya memang bisa berkeliling kebun binatang gratis setiap hari, bahkan sampai masuk ke beberapa kandang hewan, tapi untuk bekerja, bukan rekreasi.

Awalnya saya kira saya akan banyak keluar masuk kandang; merekam, mengambil foto, dan membuat konten. Ternyata keliru, berkeliling kebun binatang setiap hari juga tidak mungkin, mungkin sih tapi pasti saya akan bosan. Alhasil saya berakhir menjadi orang kantor, menghabiskan waktu dari pagi sampai sore di ruangan ber-AC mengerjakan tugas.

Saya akhirnya sadar. Dimanapun kita magang (bekerja), bahkan di tempat wisata, atau bahkan di Disneyland pun, yang mengaku sebagai The Happiest Place On Earth jika di tempat itu kita bekerja, ya kita menjadi seorang karyawan, bukan wisatawan. Mengerjakan tugas, bukan jalan-jalan.

Dua bulan magang saya jadi banyak merenungkan mengenai pilihan kerja saya besok, hal yang oleh orang-orang disebut Work Life Balance. Memang benar Work Life Balance itu susah dicapai, bahkan hampir tidak mungkin. Orang yang bekerja dari Senin dan Jumat, dan baru ‘hidup’ di hari Sabtu dan Minggu mereka bukan Work Life Balance, mereka adalah zombie. Manusia-manusia akhir pekan. Hidupnya hanya menunggu akhir pekan, Senin sampai Jumat mereka hidup tanpa jiwa. Saya kira mereka sudah yang paling kasihan, ternyata, ada yang lebih kasihan dari manusia-manusia akhir pekan ini, merekalah para karyawan tempat wisata yang tidak mencintai pekerjaan mereka.

Orang kantoran masih bisa menunggu akhir pekan, sedangkan bagi karyawan tempat wisata, akhir pekan adalah hari-hari sibuk, hari ketika wisatawan ramai berkunjung. Termasuk saya, dua bulan magang saya hampir lupa rasanya weekend.

Ironisnya lagi, bagi karyawan tempat wisata, mereka bekerja di tengah-tengah orang yang sedang berlibur. Saya merasakannya. Ketika giliran libur saya tiba (yang sudah tentu bukan akhir pekan) saya semacam mati rasa. Kenyang sehari-hari menyaksikan sekeluarga liburan dan pasangan ngedate, ketika libur saya hanya ingin tidur seharian di kamar kos.

Juga, sepertinya tempat wisata bukan tempat yang tepat bagi orang-orang yang tidak terlalu suka keramaian. Saya pernah mendengar salah satu karyawan berkata, kalau saja karyawan-karyawan disini punya rasa malu, sudah tentu akan sepi pengunjung.

Saya yakin semua orang akan dipertemukan dengan apa yang mereka cari. Ada orang-orang yang langsung mendapat keinginan mereka, sebagaimana teman-teman saya dipertemukan dengan tempat magang impian mereka, tapi ada orang-orang yang harus bertemu dengan hal-hal yang tidak mereka sukai terlebih dulu, agar kemudian ia paham apa yang sebenarnya ia cari, saya rasa saya termasuk kelompok yang kedua.

Saya ingin punya pekerjaan yang menyenangkan, melakukan apa yang saya cintai. Saya tidak ingin hidup hanya untuk akhir pekan. Meminjam istilahnya Pandji Pragiwaksono, saya ingin mencapai “Work Life Trampoline”. I don’t balance my life and my work, cause they’re all jumping in the same trampoline. Because we love what we do, we do what we love. Pusing tapi bahagia, carilah pekerjaan yang capeknya membuatmu bahagia. Memiliki kerja yang tidak kita cintai adalah penjara, hari-hari kita akan tersiksa.

Saya tidak mengatakan bahwa saya menyesal magang di kebun binatang. Mendapat kesempatan belajar disini adalah pengalaman yang berkesan, karyawan-karyawan disini baik-baik, saya mengunjungi banyak tempat baru, saya bertemu banyak orang baru, dan mencoba berbagai hal baru. Merasa bisa memberikan apa yang saya bisa kepada tempat ini. Menjadi bagian dari kebun binatang selama dua bulan adalah hal yang seru.

Tapi disisi lain, saya juga dipertemukan dengan hal-hal yang tidak saya sukai. Rutinitas, deadline, juga formalitas.

Jika ada satu hal dari magang yang saya pelajari, hal itu adalah kompromi. Bagaimana saya harus memisahkan antara hobi dan mana pekerjaan. Jalan-jalan yang sudah menjadi kerja, tidak bisa disebut jalan-jalan lagi, bukan?

Di depan kandang satwa, di kebun binatang ini, saya merenung, jika saja para satwa ini memiliki kemauan seperti manusia, bagaimana jadinya perasaan mereka. Berada jauh dari habitat asal, ruang gerak dibatasi, beberapa tidak memiliki teman dalam satu kandang. Tapi kemudian saya melihat diri ke diri saya sendiri; jauh dari rumah, terkekang oleh deadline dan revisi, tidak mencintai pekerjaan saya, dan hanya libur sehari dalam sepekan demi kepentingan kebun binatang, yang tentunya demi kesejahteraan satwa-satwa itu sendiri.

Di depan kandang satwa, di kebun binatang ini, saya jadi bertanya-tanya: sebenarnya siapa yang merdeka, saya atau satwa?

Tinggalkan komentar