Kenapa Kita Sulit Sekali Percaya Uang Bukanlah Segalanya?

Sebagai bagian dari generasi yang dibesarkan oleh kasih sayang teknologi, saya mengakui saya (kita) tumbuh menjadi generasi yang ngeyel.

Mbeling. Angel kandanane. Rebel. Break the rule. Sulit diatur.

Kita tumbuh menjadi generasi yang bebal. Generasi yang ‘masuk telinga kanan keluar telinga kiri’. Kita sulit mencerna nasehat. Tidak mudah percaya dengan wejangan dan motivasi. Dalam beberapa hal kita percaya, tapi tidak sepenuhnya yakin. 

Satu hal yang saya rasa generasi kita sulit untuk percaya adalah: Uang itu bukan segalanya.

Kita sering mendengar, membaca, dan melihatnya; ‘uang bukan segalanya’, ‘uang tidak penting’, ‘uang tidak bisa membeli kebahagiaan’, ‘uang bukan tujuan’, uang ini, dan uang itu.

Kita percaya. Kita menerima semua ungkapan itu. Kita pernah mendengar bagaimana kekayaan menjadi sumber kesepian dan kekecewaan bagi orang-orang tertentu, kita hafal cerita bagaimana harta menenggelamkan seseorang dengan kekayaan berlimpah. Tapi apakah kita benar-benar yakin? Apakah kemudian setelah mendengar kalimat ‘uang bukan segalanya’ kita akan menjadi makhluk yang orientasinya bukan uang?

Aduh, kenapa kita sulit sekali percaya uang bukanlah segalanya?

Setiap mendapat wejangan, “Uang bukan segalanya”, kita selalu saja membantah, “Lu mah enak, bisa ngomong gitu karena dah punya duit, lah sedangkan kita miskin”.

Padahal kalau kita mau berpikir, kitalah yang salah. Bukankah karena mereka punya uang, mereka telah mengalaminya, harusnya kita percaya? Kalau kalimat yang sama keluar dari mulut seorang yang tidak punya uang, baru disitulah seharusnya kita bisa membantah.

Lalu bagaimana cara kita percaya bahwa uang bukan segalanya? Sudah jelas cara paling ampuh bagi generasi kita adalah mencobanya. Cara agar kita percaya bahwa uang bukanlah segalanya adalah dengan punya uang yang banyak.

Kita percaya kok uang bukan segalanya, tapi kita harus punya uang banyak dulu baru bisa benar-benar yakin. 

Harus diakui dan diterima mental generasi kita memang seperti ini. Ngeyel. Tidak mudah percaya. Kemajuan teknologi mendidik kita menjadi manusia yang kritis. Dibombardir arus informasi membiasakan kita untuk menyangsikan segala hal. Peribahasa “Jangan main api kalau tidak ingin terbakar” tidak lagi relevan dengan generasi kita. Kita tidak percaya api bisa membakar, satu-satunya cara menghadirkan keyakinan bahwa api itu panas adalah dengan cara menyentuhnya. Kita tidak mudah percaya omongan orang, sebelum kita sendiri yang melakukannya. Pengalaman masih menjadi guru terbaik, tapi jika mengalaminya sendiri. Bukan milik orang lain yang diceritakan.

Alasan lain, kenapa kita tidak mudah percaya bahwa uang bukanlah segalanya, adalah karena uang bisa dibanggakan. Sebagai generasi yang lahir dari rahim media sosial, kita tumbuh menjadi manusia yang memiliki rasa narsis lebih dibanding generasi manusia sebelum kita. Lebih baik yang mana, kerja karena uang atau kerja karena cinta? Sudah jelas karena uang? Uang bisa dibanggakan. Netizen lebih gandrung konten-konten kesuksesan daripada konten berisi proses.

Kita percaya semua hal yang dilakukan atas dasar cinta akan lebih membahagiakan dan membuat kita ‘penuh’ dibanding kerja dengan tujuan uang. Tapi lagi-lagi kita berdalih, untuk mencapai tahap bekerja karena cinta, terlebih dulu kita harus kerja karena uang. Kestabilan ekonomi membantu kita fokus mengerjakan hal-hal yang kita cintai (baca: pekerjaan yang tidak dibayar).

Kata Mbah Sujiwo, “Kerja karena cinta mungkin satu, dua, tiga tahun tidak ada yang membeli, tapi semua pekerjaan yang dilakukan karena cinta pasti membuatmu jadi ahli”. Dan ahli, adalah pintu masuk menuju uang, menuju kekayaan yang masih kita ragukan ke-tidaksegala-annya itu.

Kenapa kita harus percaya dan yakin kalau uang bukan segalanya? Karena uang, berapapun itu, tidak akan cukup. Kita mengejar sesuatu yang terus berlari. Puas, tidak. Lelah, iya.

Uang bukan segalanya. Tapi kan sekarang apa-apa butuh uang.

Yeee….

Tinggalkan komentar