Harus Kesepian

Apakah menjadi dewasa berarti kita harus mengalami kesepian? Karena begitulah yang kita rasakan, bukan? Ketika kecil ingin lekas menjadi dewasa, ketika sudah dewasa selalu mengeluh. Zonk. Ternyata dewasa menyebalkan, dan kesepian jadi salah satu penyebab utamanya.

Sama seperti kalian semua, saya juga sedang berada dalam fase yang sama. Menjadi dewasa. Mungkin sedang, mungkin juga sudah. Sama juga, kesepian jadi perasaan yang belakangan sering hinggap dalam diri saya.

Saya akhirnya paham apa penyebab terbesar rasa kesepian saya (juga kalian). Tidak semua. Bisa jadi beda, tapi mungkin semua orang pernah atau akan merasakannya. Sumber kesepian yang kita rasakan ketika dewasa adalah karena kebutuhan kita dalam hidup berubah.

Ketika kita kecil, remaja, anak sekolahan, kebutuhan kita berputar pada kebutuhan eksistensi; menentukan diri sendiri, mengekspresikan minat, menemukan bakat, mencari tahu peran kita di dunia, juga berkumpul dengan teman-teman yang memiliki kesamaan akan keduanya. Sebut saja kebutuhan untuk menjadi ‘keren’. Itulah yang menjadikan berkumpul dan nongkrong terasa menyenangkan, karena ketika melakukannya kebutuhan kita terpenuhi. Kita menemukan diri kita bersama dengan teman-teman yang sama.

Itu juga yang menjadi alasan kenapa masa-masa sekolah terasa menyenangkan. Kalau diingat-ingat, saat itu tidak semua dari kita menemukan minat dan bakat, tapi setidaknya kita berkumpul dengan teman-teman dengan minat yang sama: jam kosong dan bersenang-senang.

Beranjak dewasa, kebutuhan kita mulai bergeser. Kita sadar ternyata ada yang lebih mendesak daripada ‘menjadi keren’ yaitu bertahan dan menyambung hidup. Semula yang kebutuhannya adalah menjadi keren berubah menjadi kebutuhan untuk bertahan hidup. Mencari uang (alat tukar untuk bertahan hidup), dan barangkali menjaga dan menghidupi keluarga.

Kenyataan menyadarkan kita bahwa minat dan bakat saja tidak cukup untuk membuat kita mampu bertahan hidup. Beberapa dari kita tidak lagi peduli-peduli amat soal menjadi keren dan mulai memutar otak bagaimana caranya menyambung hidup. Kali ini prosesnya tidak serempak. Memutuskan kapan harus menggeser kebutuhan dan prioritas tidak seperti ujian kenaikan kelas atau libur semester, tiap orang punya jadwalnya masing-masing.

Inilah cikal bakal dari rasa sepi tadi. Yang menyebabkan nongkrong dan kumpul-kumpul mungkin akan terasa berbeda, tidak semenyangkan dulu lagi. Karena sekarang kita tidak selalu berkumpul atas kesamaan minat (juga bakat) yang sama. Ada campur tangan kesibukan disana. Barangkali juga bukan kesibukan, hanya kegiatan kita saja yang tidak lagi sama. Nongkrong sekarang jadi agenda baru untuk ‘sekadar’ temu kangen dan melepas penat, juga bertukar cerita mengenai perjalanan hidup, termasuk pergeseran kebutuhan tadi.

Beberapa orang ditakdirkan berhasil menuntaskan kebutuhan eksistensinya, menemukan apa yang mereka bisa dan memahami apa yang mereka suka, kemudian beranjak menuju kebutuhan yang berikutnya, kebutuhan bertahan hidup. Sedangkan sebagian yang lain belum berhasil menuntaskan kebutuhan eksistensi mereka, namun  waktu memaksa mereka untuk mulai memikirkan kebutuhan bertahan hidup.

Rasa sepi bisa hinggap pada keduanya. Saya rasa rasa sepi bisa menyerang siapa saja. Tempo hari saya membaca sebuah cerita bagaimana seorang perempuan menderita kesepian setelah menikah. Menikah yang kita maknai sebagai hidup bersama, disisi lain juga menimbulkan kesepian dan kesendirian.

Sesederhana bubar nongkrong. Satu persatu teman akan pulang, meninggalkan kita sendiri bersama pikiran kita sendiri. Semakin dewasa kita semakin paham, sejatinya hidup memang sepi. Kehidupan kita jalani masing-masing. Kebetulan saja semua orang hidup di planet yang sama. Sejak kecil kita terbiasa hidup berkelompok, bahkan berkelompok adalah insting manusia purba. Karena sering berkelompok, identitas diri yang kita tahu adalah identitas kelompok. Berkumpul bersama teman berarti menguatkan identitas. Ketika masing-masing dari kita pergi dengan kebutuhannya masing-masing, identitas kelompok kita akan goyah termasuk identitas diri kita sendiri. Kehilangan teman bermakna kehilangan diri sendiri. 

Saya yakin beberapa dari kita, atau bahkan semuanya pernah merasa hampa ketika mengetahui teman baik kita baik-baik saja tanpa kehadiran kita. Ketika teman-teman sekelompok kita menemukan identitas baru mereka, dan kita masih saja menggunakan identitas kelompok sebagai identitas diri, kita akan merasa kehilangan. Gejala kesepian.

Saya rasa kesepian tidak seharusnya dihindari. Setiap dari kita harus merasakan menderita karena kesepian, minimal pernah merasakannya. Semacam sakit cacar air setahun sekali. Alasannya, agar kita sadar bahwa hidup ini ya hidupnya masing-masing, dan agar kita sadar akan identitas kelompok kita serta mencoba menemukan identitas diri kita sendiri, juga merasakan kesepian membantu kita menghargai sebuah (say belum menemukan kata yang pas, akan sangat tidak oke menyebutnya dengan keramaian atau keriuhan)

Menemukan diri sendiri, identitas diri, yang tidak bergantung pada kelompok harus ditempuh melalui kesepian, melalui jalan yang sunyi, belajar merasakan sepi (takjub bagaimana bisa imbuhan ke-an sangat mengubah makna sebuah kata. kesepian  jelas berbeda dengan merasakan sepi) . Karena tidak selamanya kita akan selalu bersama teman-teman kita. Mungkin ini yang disebut dengan menjadi dewasa; menemukan diri sendiri. Prosesnya melelahkan, dan menjengkelkan. Siapa sih yang suka kesepian? Tapi mau tidak mau. Kita tidak bisa memaksa teman-teman dan orang-orang kesayangan kita bisa terus bersama dengan kita. Untuk itulah kita harus melatih diri kita dengan kesepian.

Pada akhirnya, semakin dewasa, hidup kita akan semakin sepi. Entah karena ditinggalkan atau meninggalkan (mati). Sebagian dari kita masih tidak ingin meninggalkan kenyamanan berkelompok, enggan menentukan identitas baru yang berbeda dengan identitas kelompok, mengutuk kesendirian, memusuhi kesepian. Sebagian yang lain dengan sengaja mengambil jalan sunyi, memilih merasakan sepi, dan menemukan diri mereka sendiri.

Tinggalkan komentar