Tafsirannya yang Hebat

Jika ada satu hal dari mendaki gunung yang saya tidak sukai, maka itu adalah kebiasaan orang-orang (termasuk saya) melebih-lebihkan kegiatan mendaki gunung dan kegiatan alam bebas lainnya.

***

Mendaki gunung memang jadi fenomena ngetren, artinya orang-orang melakukannya karena kegiatan itu populer atau banyak orang lain sudah melakukannya terlebih dulu. Media sosial punya peran penting dalam membentuk tren. Banyak orang sudah mendaki gunung, sejak media sosial muncul, jumlahnya bertambah berkali-kali lipat.

Mendaki gunung dan melakukan kegiatan di alam bebas lain tentu bisa jadi sebuah kebanggan, alasannya sederhana: karena tidak semua orang melakukannya. Ditambah dengan media sosial, kita bisa memamerkan kegiatan kita di depan ratusan bahkan ribuan orang lain yang tidak melakukannya. Menjadi eksklusif. Menjadi anti mainstream. Berawal dari situ, kegiatan mendaki gunung, olahraga, dan kegiatan alam bebas lain menjadi salah satu tolak ukur kegagahan seseorang. Tanda lebih hebat. Lebih berani. Lebih berpengalaman. Dan lebih-lebih yang lain. Tidak butuh waktu lama, mendaki gunung jadi salah satu dari sekian cara meraup perhatian orang-orang.

Semakin kesini, saya merasa kegiatan mendaki dan kegiatan alam bebas lain semakin di lebih-lebihkan. Sejak semua hal dijadikan konten. Mengambil foto yang memperlihatkan seolah-olah medan yang curam dan tidak mungkin dilalui, kemudian disisipkan keterangan dan cerita yang dilebih-lebihkan. Memang benar, hidup di alam bebas berbahaya, kita semua tahu itu. Itulah kenapa tidak semua orang mau dan mampu melakukannya, sudah lelahnya luar biasa, ditambah lagi tidak nyaman. Tapi jika ada satu hal yang saya benci dari mendaki gunung dan kegiatan alam lainnya, maka itu adalah kesempatan orang-orang (juga saya) untuk merasa lebih hebat dari orang lain. Kami jadi punya alasan dan celah untuk meremehkan orang lain.

Saya benci ketika diri saya sendiri dan orang lain merasa lebih dari orang lain dan terkesan merendahkan mereka. Kebanyakan orang mewujudkannya dalam bentuk cerita melalui media sosial; mendaki gunung untuk menaklukan dunia lah, menaklukkan diri sendiri lah. Menganggap mereka yang tidak melakukan pendakian dan perjalanan adalah penyia-nyia kehidupan dengan mengatakan ‘Indonesia terlalu indah jika dinikmati lewat layar kaca’, atau ‘Kasihan kamu, masih muda tahunya cuma kota!’. Merasa paling lelah karena telah berjalan seharian, merasa paling sadar, paling filosofis, paling jeru, karena merasa telah melakukan perjalanan jauh, mengklaim telah berdialog dan menemukan diri sendiri melalui petualangan.

Saya tidak mengatakan bahwa saya benci ketika orang-orang merasa dirinya hebat. Saya rasa itu perlu. Merasa telah melakukan kegiatan yang bermakna membantu kita menjadi pribadi yang lebih optimis. Tidak ada yang salah dengan merasa keren, yang menurut saya salah adalah ketika kita harus merendahkan orang lain ketika ingin merasa keren dan hebat. Kita tidak bisa mengatakan hutan dan petualangan selalu menampilkan kejujuran, sementara kota dan keramaian hanya berisi drama dan kepalsuan, hanya karena setiap berpapasan dengan pendaki lain di jalur pendakian kita saling sapa dan beramah tamah. Seolah-olah mereka yang tidak melakukan pendakian tidak paham caranya beramah tamah mereka yang hidup di kota adalah orang-orang yang bersembunyi di balik topeng dan hidupnya banyak drama. Padahal tidak jarang juga keramahan di hutan dan gunung adalah keramahan yang dibuat-buat.

Kita tidak berhak merasa hebat dan gagah hanya karena terbukti beberapa kali memiliki kemampuan bertahan hidup di alam bebas yang lebih baik dari orang lain. Merasa lebih hebat dari orang lain hanya karena kamu mampu berjalan lebih jauh sambil menenteng beban berat bagi saya adalah hal yang sia-sia. Semua kepayahan dan kelelahan yang dilakukan oleh para pendaki bersumber dari minat mereka akan kegiatan tersebut. Apapun tujuannya. Bagaimana bisa kita memvonis orang lain tidak lebih kuat dan lebih tidak berdaya hanya karena mereka tidak melakukan bahkan tidak mau berlelah-lelah melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai?

Menilai orang lain dengan ukuran kita sendiri adalah hal tolol. Setiap orang punya ketertarikannya masing-masing, hobi, passion, keahlian, atau apapun kita menyebutnya, sesederhana hal yang kita suka dan tidak pun berbeda. Ketertarikan dan kecintaan inilah yang memotivasi kita melakukan hal-hal yang tidak dilakukan orang lain, bahkan rela bersusah payah melakukannya. Menilai orang lain dengan ukuranmu sendiri sama saja dengan memaksa mereka mencintai apa yang kamu cintai

Dengan segala kelebihan biaya, waktu, dan kemampuan, kamu boleh berbanga diri karena bisa travelling di dalam dan luar negeri, tapi bisa jadi kamu tidak sehebat orang lain dalam hal yang lain. Mungkin kamu tidak punya tingkat konsentrasi sehebat mereka yang hobi membaca, wawasanmu tidak seluas mereka yang gemar menonton film dan serial drama, tidak punya banyak keahlian sebagaimana mereka yang banyak menghabiskan banyak waktunya untuk pekerjaan rumah, atau mungkin tingkat kesabaranmu tidak semengagumkan mereka yang punya hobi memancing.

Kita sering menganggap norak mereka-mereka yang menggandrungi Kpop karena perilaku mereka yang kita anggap norak. Penikmat musik metal juga sama, mungkin mereka tidak mengoleksi foto-foto artis idola mereka, tidak berkerumun menunggu mereka keluar bandara, tapi para fans band metal mentato wajah personil band favorit mereka di badan mereka, berpakaian seperti mereka, dan menamai anak mereka dengan nama-nama gitaris dan drummer kesayangan mereka. Mau fans KPop, Metal, atau genre musik lainnya, mereka semua juga rela menukar uang mereka dengan tiket konser yang nominalnya tidak masuk akal. Norak? Menurut saya iya. Kita semua norak dengan obsesi kita masing-masing. Jangan lihat apa yang orang lain cintai, lihatlah seberapa besar cinta mereka, kepada apapun itu.

Sama seperti kecintaan-kecintaan yang lain. Mendaki gunung dan kegiatan alam bebas yang lain hanyalah sebatas hobi, sama seperti hobi memasak, bermain futsal, atau membaca. Sebagaimana orang-orang yang suka mendaki gunung mengatakan bahwa mereka baru merasa benar-benar hidup ketika melakukan apa yang mereka sukai, orang-orang yang gemar menonton anime dan bermain karambol juga berhak melakukan demikian. Kamu bisa mendulang hikmah dan memperoleh arti kehidupan dari kegiatan mendaki gunung, tapi kamu juga bisa mendapatkan keduanya dengan bermain futsal dan menonton anime. Merasa bangga dengan apa yang kita kerjakan tidak ada salahnya, melihat rendah orang lain karena mereka tidak melakukan apa yang kita kerjakan sya rasa itu yang tidak perlu.

Tanpa embel-embel petualangan, kejujuran, atau perjuangan, mendaki gunung juga hanya akan jadi kegiatan mengisi waktu luang dan ngesel-ngeseli awak. Makna yang dibebankan kepadanya lah yang membuatnya terlihat keren. Orang-orang banyak mengatakan mendaki gunung adalah kegiatan yang seru; berkemah, berjalan menuju puncak, melihat matahari terbit, dan merasakan dingin yang sangat adalah hal yang patut dicoba. Padahal, percayalah momen paling menyenangkan dan ditunggu-tunggu dari mendaki gunung adalah pulang ke rumah dan merebahkan badan.

Meminjam perkataan Pramoedya, “Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya”.

dok. Galyh Naf’an

Tinggalkan komentar