Mengelola Ketersinggungan

Kita hampir tidak bisa mengatur diri kita tersinggung oleh apa, karena sama halnya dengan tertawa, tersinggung adalah refleks.

Kita tidak bisa mengatakan ‘jangan bercanda soal satu hal tertentu kepada saya, karena saya akan tersinggung’. Belum tentu juga. Ketersinggungan setiap orang sulit ditebak. Sulit sekali. Kasus ketersinggungan banyak kita jumpai pada lelucon-lelucon para komedian. Berapa kali sudah kita mendengar seseorang atau sekelompok orang marah karena sebuah lelucon yang dilempar oleh comedian. Tapi nyatanya ketersinggungan ada hampir di setiap sisi kehidupan, tidak hanya ketika melihat comedian atau ketika kita sedang bercanda.

Ada kasus ketersinggungan di media sosial yang menurut saya cukup lucu. Pernah sebuah tweet ramai memperdebatkan soal seorang istri yang rajin membuatkan suaminya bekal. Tweetnya sederhana, orang ini mengunggah foto kotak makanan yang dibuatnya sebagai bekal untuk sang suami. Bahkan tidak ada unsur bercandaan dalam tweet itu, tapi tebak: ada netizen yang tersinggung. Dan orang ini adalah SJW Feminisme. Dari situ tweet berisi bekal makanan tadi menjadi lahan rebut para netizen di Twitter.

Atau keramaian yang lain. Masih ingatkah teman-teman, pernah ada seorang Wanita yang tersinggung dan tidak terima karena dipanggil driver ojol dengan panggilan ‘Mbak’. Wkwkwk…

“Ini di Jakarta Ya, tolong jangan panggil saya Mbak!”

Mungkin menurut wanita ini panggilan ‘Mbak’ di Jakarta dan kota-kota besar adalah panggilan khusus untuk Asisten Rumah Tangga. Ia merasa dengan dipanggil ‘Mbak’ sama dengan merendahkannya. Padahal kan tidak ya, panggilan ‘Mbak’ adalah panggilan universal untuk seorang perempuan, terutama di Pulau Jawa.

Kita tidak pernah tahu, seseorang akan tersinggung karena apa. Balik lagi, sama halnya dengan tertawa, tersinggung adalah refleks.

Tersinggung memang refleks. Tapi marah adalah pilihan.

Kita sulit mengelola ketersinggungan, tapi bukan tidak mungkin. Sama halnya dengan tertawa. Kita tertawa karena ada hal-hal yang lucu. Tapi tidak semua hal lucu menyebabkan kita tertawa. Sebagai contoh, mungkin dulu ketika kita mendengar jokes ‘Darimana? Daritadi’ Kita bisa saja tertawa. Karena waktu itu masih lucu. Tapi sekarang jangankan lucu, mendengar orang bercanda semacam itu saja kita muak. Pengalaman menjadikan kita bisa mengelola refleks tertawa. Untuk ketersinggungan, saya kurang tahu, mungkin cara kerjanya sama. Seorang yang berkulit hitam ketika warna kulitnya menjadi bahan tertawaan, ia merasa tersinggung dan marah, tapi karena sering mendapatkan perlakuan demikian, orang ini tidak lagi marah. Tapi tidak bisa dipukul rata. Tidak ada yang bisa menjamin orang ini tidak akan lagi marah, misalnya jika obrolan soal warna kulit itu keluar dari seseorang tertentu.

Kita benar-benar tidak bisa menebak orang akan tersinggung karena apa. Saran saya, berhenti berharap seorang komedian, atau teman kalian bercanda soal sesuatu yang berpotensi akan menyinggung. Tentu tidak bisa. Komedi selalu butuh objek tertawaan, sesuatu atau seseorang yang ditertawakan.

Dan tidak melulu soal bercandaan, tadi saja ada orang tersinggung melihat tweet bekal makan dan dipanggil ‘Mbak’.

Tersinggung memang refleks, tapi marah adalah pilihan. Yang kita perlukan bukan menghindari semua hal yang berpotensi menyebabkan kita tersinggung, tapi mengelola emosi. Karena memang bercandaan atau obrolan tertentu tidak diniatkan untuk menyinggung. Itulah kenapa ter-singgung, bukan me-nyinggung atau di-singgung, kecuali memang orang lain mengatakan sesuatu sebagai serangan untuk kita, kalau itu kita sah-sah saja marah.

Pemahaman ini sedikit banyak saya dapat dari kegemaran saya mengonsumsi stand up comedy. Saking sukanya saya sampai pernah menjajal open mic. Ternyata saya memang belum cukup lucu. Tapi kalau soal membuat orang lain tersinggung atau kesal, kayaknya saya cukup jago. Wkwkwk…

Tinggalkan komentar