Belajar Melambat

Setelah dihitung-hitung, bulan Juli lalu saya lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, berdiam diri dan istirahat. Bulan lalu banyak saya lewati dengan tidak enak badan. Selain karena cuaca panas yang menyengat, per tahun 2021 saya di vonis oleh dokter mengidap bronkitis ringan. Ringan sih, tapi sudah cukup membuat saya kewalahan dan sangat menghambat.

Awal Agustus ini, ketika kondisi badan saya sudah membaik, saya merasa perlu ‘membalas dendam’, berolahraga dan bergerak lebih banyak, karena bulan lalu waktu saya banyak dihabiskan untuk luntang-luntung di kasur.

Dimulai di pekan pertama, saya ikut mengantar teman-teman saya mengikuti ajang perlombaan lari 5 km di Rawa Jombor, Klaten. Menyaksikan teman-teman saya berolahraga dan berbahagia saya jadi makin tidak sabar ingin segera berolahraga dan membalas dendam.

Belajar renang

Tanpa banyak pertimbangan, pekan berikutnya saya mulai kembali berolahraga. Jika biasanya saya mencoba rutin berlari, kali ini menu olahraga saya bertambah: berenang. Berlatih berenang lebih tepatnya.

Sudah lama sebenarnya saya ingin mengasah kemampuan berenang saya yang tidak seberapa bahkan tolol ini, saya termakan ucapan Fiersa Besari, kurang lebih ia mengatakan bahwa terlahir sebagai warga negara maritim yang tidak bisa berenang adalah salah satu bentuk kufur nikmat. Wkwkwk…

Dari situ saya mulai membulatkan tekad, saya harus meningkatkan skill berenang saya, dan setelah sekian lama akhirnya hari itu tiba, saya benar-benar berlatih berenang. Sendirian. Cukup melelahkan karena selama ini momen berenang selalu menjadi waktu bermain dan keceh bagi saya, bukan olahraga serius yang bolak-balik dari ujung ke ujung. Jadilah selama bulan kemerdekaan ini, mengisi kemerdekaan versi saya adalah berusaha menjadi warga negara maritim yang kaffah dengan mengasah kemampuan berenang saya. Hitung-hitung memantaskan diri, siapa tahu besok-besok dapat rezeki bisa berkunjung ke Raja Ampat dan menyelam di lautannya. Siapa tahu.

Dua hari sekali saya pergi ke kolam renang. Kolam renang, bukan umbul. Selama disana ada 3 jenis pengunjung yang hampir selalu saya jumpai; Pertama, atlet yang sedang berlatih. Kedua, anak-anak berkebutuhan khusus yang dating untuk terapi Bersama bapak atau pelatihnya. Ketiga, bapak-bapak (atau kakek-kakek) pensiunan guru yang sudah bertahun-tahun menderita saraf kejepit. Diantara ketiganya, saya lebih sering berinteraksi dengan yang kedua dan ketiga. Dari seorang bapak yang mengantar anak berkebutuhan khususnya saya jadi tahu kalau ternyata berenang adalah salah satu sarana terapi bagi si anak. Sedangkan dari seorang bapak penderita saraf kejepit, selain terapi berenang juga bermakna rekreasi baginya. Bapak ini berjalan dengan bantuan tongkat, di dalam air, beliau bisa mengangkat kakinya bahkan melompat-lompat. Sepekan saya bersama mereka saya kenyang sekali ngobrolin kehidupan. Wkwkwk…

Terserang Vertigo

Berenang dua hari sekali saya lakukan kurang lebih selama sepekan, tapi balas dendam saya tidak sampai situ, disamping berenang saya masih melakukan olahraga yang lain. Hari Senin paginya saya berenang, sore harinya saya jogging. Hari Selasa istirahat. Hari Rabu paginya berenang, sorenya jogging. Kamis mengerjakan urusan rumah (mengganti kran wastafel yang bocor). Jumat paginya saya berenang, sorenya saya bermain Mini Soccer. Sial memang, karena lama tidak bermain bola ditambah lagi pemanasan yang kurang, agenda bermain Mini Soccer harus diakhiri dengan kaki saya yang pegal sekali. Sabtu paginya ketika bangun tidur, kaki kiri saya sulit sekali digerakkan.

Hari Sabtu berjalan biasa saja, sampai akhirnya siang hari, ketika berjalan keluar rumah, di garasi saya tersandung kaki saya sendiri. Loh? Benar-benar tersandung kaki sendiri. Kalian pasti pernah melakukan bercandaan seolah-olah tersandung kaki sendiri, sama seperti itu, bedanya kali ini saya tidak bercanda. Setelah kejadian itu berangsur-angsur kepala saya menjadi berat, pandangan buram dan sulit fokus, sampai akhirnya berjalan sempoyongan.

Malam harinya kepala saya serasa berputar dan saya merasa seolah-olah merasa akan jatuh, ditambah lagi perut terasa begitu mual. Lekas saya buka google dan mencari tahu ini semua gejala apa, dengan cepat saya menyimpulkan; bisa jadi anemia. Merasakan sensasi berputar di dalam kepala dan seolah-olah akan jatuh, perut mual, ditambah lagi malam itu saya terus-terusan menguap. Benar saja ini anemia, tapi apa penyebabnya? Saya menarik mundur ke belakang dan menemukan mungkin saja porsi olahraga saya terlalu banyak, ‘balas dendam’ saya berlebihan, ditambah lagi tiap kali berenang saya selalu melewatkan sarapan. Olahraga berlebihan ditambah asupan yang kurang ditambah cuaca yang panas. Vertigo jawabannya.

Jika diingat lagi malam itu saya cukup menyedihkan, berjalan sempoyongan menuju apotek membeli suplemen penambah darah, sambal terus-terusan memegangi perut mual saya, dan menguap tak henti-henti. Konyol sekali.

Pagi harinya, mual saya hilang, badan saya terasa lebih segar, sedangkan vertigonya belum sepenuhnya hilang. Singkat cerita vertigo saya bertahan hingga satu pekan, saya sampai dua kali memeriksakan diri ke dokter. Saya tahu Vertigo bisa jadi gejala penyakit yang lebih serius. Namun dokter mengatakan saya vertigo yang saya alami tidak mengarah kesana, saya diminta untuk beristirahat lebih banyak, menghindari kafein dan coklat untuk sementara waktu, jangan sampai telat makan, jangan begadang, dan belajar melambat.

Memperlambat Gerakan kepala salah satunya. Terdengar lucu tapi inilah yang dikatakan dokter. Saya diminta untuk tidak melakukan Gerakan mata dan kepala secara tiba-tiba, untuk menoleh pun disarankan agar tidak hanya memutar kepala, tapi juga bahu dan dada. Imbasnya sudah pasti: saya harus Kembali absen berolahraga.

Saya menyesali perbuatan saya membalas dendam atas sakit di bulan Juli lalu, karena ujung-ujungnya saya harus menahan diri dari berolahraga lagi dan dari banyak bergerak. Bahkan saya harus bergerak lebih perlahan. Ketika dokter mengatakan hal itu dan memeragakan hal itu (bergerak dengan perlahan), saya langsung teringat dengan karakter Sloth di film Zootopia (2016). Betapa menyedihkannya saya kini saya harus melakukan segala sesuatu dengan lambat.

Tapi berkat saran dokter tadi, saya jadi menyadari satu hal. Ternyata memang selama ini saya sering tergesa-gesa, dalam banyak hal, dari melakukan sesuatu sampai berpikir. Teman-teman saya tahu bahkan berbicara pun saya tergesa-gesa, alias belepotan. Demikian dengan berpikir. Saya merasa selama ini saya sering memikirkan urusan lain disaat urusan yang sedang saya kerjakan belum selesai.

Berkat kejadian ini pula, saya sadar jika selama ini setiap kali bangun tidur saya kesulitan bangun dengan tenang. Hampir tiap bangun, saya selalu langsung duduk, bukannya membuka mata dahulu dan menggerakkan badan perlahan. Mungkin karena kebiasaan kaget mendengar alarm. Apapun penyebabnya kebiasaan ini buruk dan bisa memicu vertigo. Saya harus benar-benar belajar melambat.

Tepat sepekan setelah hari pertama saya merasakan vertigo. Mama menyuruh saya untuk memeriksakan mata. Benar saja, silindris saya bertambah. Selain anemia, gangguan pada otak, dan saraf pada telinga, vertigo bisa disebabkan oleh gangguan pada saraf mata. Anemia ditambah lagi penggunaan kacamata yang tidak lagi sesuai, menjadi penyebab vertigo saya bertahan sampai sepekan.

Hari Minggunya saya menghadiri arisan keluarga di rumah Eyang. Mama bercerita pada orang-orang soal anak pertamanya yang terserang vertigo. Saya jadi bulan-bulanan Om dan Pakdhe saya, kata mereka, “Vertigo itu karena kebanyakan mikir. Sih enom kok wes vertigo.”

Saya tahu itu bercanda. Tapi sejenak dalam hati saya berkata:

“Masa iya, saya banyak pikiran?”.

Satu tanggapan untuk “Belajar Melambat

Tinggalkan komentar