Menerbitkan Buku Pertama

dok. diomedia

Seorang teman berkata pada saya, “Menerbitkan buku tanggung jawabnya besar, punya nyali buat nerbitin buku keren sih!”.

Jujur, ketika proses menulis naskah buku saya sama sekali tidak kepikiran soal tanggung jawab dan nyali. Pikiran soal itu justru muncul setelah buku ini terbit dan masuk periode pra pesan, pertanyaan semacam “Apa jangan-jangan tulisan saya nggak sebagus itu ya?” atau “Kalau ternyata orang-orang nggak suka, gimana ya?”

****

Menulis buku tidak pernah menjadi impian terbesar saya, bahkan saya baru hobi menulis di kelas 3 SMA. Telat sekali. Semua berawal di tahun terakhir sekolah itu juga. Ketika itu saya merasa punya stok tulisan untuk dijadikan naskah ditambah sedikit kepercayaan diri karena tulisan-tulisan saya di blog dibaca dan diapresiasi oleh beberapa teman, saya memutuskan untuk mengirim naskah buku pertama saya. Tahun 2019. Tidak diterima. Tentu saja. Isi naskahnya bukan seperti buku yang berhasil terbit sekarang. Bahkan sekarang, kalau saya ingat kembali, cukup tolol juga saya sok-sokan mengirim naskah ke penerbit dengan tulisan-tulisan sampah saya waktu itu.

Tapi, setelah itu saya semakin menekuni hobi menulis. Terutama menulis untuk blog pribadi ini. Saya juga beberapa kali mencoba mengirim tulisan-tulisan saya lagi, baik kepada penerbit buku atau media online. Hampir semuanya gagal tembus. Keberhasilan saya menulis untuk media online akhirnya terwujud ketika pandemi, bukan lewat jalur mengirim naskah, tapi ketika itu saya magang di salah satu media online (Kompas.com). Dan setelah 4 tahun lebih belajar menulis, saya memberanikan diri untuk mencoba menghimpun tulisan-tulisan saya dan menerbitkannya menjadi sebuah buku. Selain sebuah tantangan baru, menurut saya, bagi semua orang yang suka menulis, buku menjadi mimpi terbesar kami, di tengah dunia yang serba digital ini.

Ada beberapa hal lain yang menjadi alasan kenapa akhirnya saya memutuskan menerbitkan buku, karena tidak bisa sidang skripsi salah satunya. Wkwkwk… (Cerita soal sidang skripsi bisa dibaca di sini). Selain itu, saya memutuskan menulis buku karena saya merasa perlu merangkum dan menyampaikan kepada khalayak soal keresahan saya. Anehnya, ide ini muncul karena stand up comedy. Saya menggemari stand up comedy. Saya suka menyaksikan stand up, baik dari komika dalam negeri sampai luar negeri. Bahkan saya sempat menjajal open mic dengan mengikuti kompetisi stand up.

Saya takjub dengan cara kerja para komedian ini. Mereka naik ke atas panggung, berbicara soal apapun yang mereka rasakan dan apa yang mereka resahkan, dan orang-orang tertawa mendengar cerita mereka. Orang-orang bahagia menyaksikan para komedian ini mengisahkan keresahan mereka. Saya merasa tergugah untuk melakukan hal yang sama, menceritakan keresahan saya kepada orang lain, tapi saya belum punya cukup nyali untuk kembali ke atas panggung stand up (open mic pertama saya anyep), akhirnya muncullah ide untuk menyampaikan keresahan-keresahan saya dengan cara yang saya bisa, yaitu menulis. Saya bisa saja menceritakan semuanya di blog ini, tapi jika merilisnya dalam bentuk buku akan terasa lebih ‘tersampaikan’.

Balik lagi ke awal, apakah saya merasa sangat bernyali karena berani memikul tanggung jawab untuk menerbitkan buku? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Saya merasa menulis buku tidak seberat itu. Saya tidak pernah membebankan buku atau tulisan-tulisan saya untuk mengedukasi, atau saya tidak berharap orang-orang merasa tercerahkan setelah membaca buku saya. Kalau ingin mendapat pengetahuan, silakan baca buku pelajaran atau buku agama, jangan buku saya. Wkwkwk… Saya menulis untuk menyampaikan keresahan saya, yang saya rasa cukup relate dengan orang-orang disekitar saya. Merasa relate dan terhibur itulah yang saya inginkan, jika ada pembaca buku saya yang mendapat perspektif baru, itu hanya bonus.

Apapun itu, saya berhasil menerbitkan buku pertama saya. Saya mencapai level baru dari hobi menulis saya, yang saya sadari ini masih tahap awal sekali. Masih banyak hal yang harus saya pelajari dari kepenulisan. Menerbitkan buku, mengajarkan saya banyak hal baru diantaranya. Salah satunya, saya jadi paham bahwa, bisa menulis dan hidup dari menulis adalah dua hal berbeda. Saya yakin ini juga berlaku pada bidang-bidang yang lain. Bisa menggambar dan hidup dari menggambar adalah dua hal yang berbeda, sebagaimana jago motret dan hidup dari fotografi adalah dua hal yang berbeda.

Untuk pandai menulis, menggambar, atau memotret, yang kita butuhkan hanyalah keahlian-keahlian tertentu, tapi untuk bisa hidup dari menulis, menggambar, atau bidang-bidang yang lain, yang kita butuhkan adalah skil di bidang tersebut, dan juga kemampuan marketing. Bagaimana kita menarik orang-orang untuk membeli dan menghargai karya kita.

Di penjualan buku pertama ini, saya sangat bersyukur antusias teman-teman saya tinggi sekali. Saya sangat berterima kasih pada kalian semua, terutama bagi teman-teman yang sering mampir ke blog ini dan menyebarkan pada orang lain soal tulisan-tulisan saya. Beberapa teman juga memilih membeli buku saya diluar periode pra pesan, karena ingin membeli dengan “harga teman”. 

Beberapa teman mengapresiasi karya saya dengan membeli buku saya dan mengatakan jika mereka sudah menunggu buku-buku selanjutnya. Mungkin disinilah kemudian menerbitkan buku menjadi ada tanggung jawabnya. Sesaat muncul ketakutan dalam diri saya, kalau-kalau tulisan-tulisan saya setelah ini tidak sebaik buku pertama ini. Tapi segera saya ingatkan pada diri saya sendiri, “Bran, karya itu bukan soal pembuktian, tapi soal penyaluran”. Saya tidak perlu menulis buku untuk mengatakan bahwa saya bisa menulis, yang saya perlukan adalah menyalurkan keresahan-keresahan saya. Maka, yang harus saya lakukan adalah merawat-merawat keresahan saya sambil terus mengasah kemampuan saya menulis. Jika tulisan-tulisan saya bagus dan mewakili perasaan pembaca, maka mereka akan membelinya. People want to get things done, not listen about how cool you are.

Menerbitkan buku mengajari saya banyak hal; soal menulis itu sendiri, bagaimana saya menjual dan mendistribusikan karya saya, dan bagaimana saya menerima dan mengapresiasi kembali para penikmat karya saya. 

Oh ya, karena sekarang ada alternatif buku, mungkin kedepannya tulisan-tulisan di blog ini akan terasa lebih personal. Esai-esai atau tulisan yang lebih umum akan saya himpun menjadi naskah untuk buku selanjutnya. Mungkin saja. Wkwkwk…

Buku saya masih bisa di pesan melalui link di bawah ini teman-teman.

bit.ly/MemanusiakanBrand

Atau bagi siapapun yang penasaran dan tertarik untuk membaca, tapi terkendala biaya, jangan ragu untuk menghubungi saya. Terima kasih. Have a nice day!

Tinggalkan komentar