Film Paling Membekas

Saya selalu bingung tiap kali ditanya apa film favorit saya. Saya cukup senang menonton film. Banyak film yang saya suka, tapi untuk mengurutkan semua film yang sudah saya tonton, dari yang terbaik sampai yang terjelek, saya masih kesulitan.

Saya suka film animasi, film animasi terbaik sepanjang masa bagi saya adalah Cars (2006). Saya penggemar film superhero, banyak film superhero favorit saya, dan saya belum menentukan mana yang terbaik diantaranya. Disamping itu, saya juga suka film-film bergenre lain; drama misalnya, aksi, juga komedi.

Banyak film yang sempurna menurut saya, baik dari segi cerita, sinematografi, maupun keduanya (tentunya dengan wawasan saya yang terbatas), tapi jika diminta menyebutkan cepat, saya bisa menyebutkan 3. Ketiga film ini bukan film terbaik secara cerita dan teknik, melainkan film yang paling membekas di ingatan saya. Uniknya, ketiga film ini adalah film based on true story. Film yang bersumber dari kisah nyata.

1. 127 Hours (2010)

Film ini adalah film biografi karya sutradara Danny Boyle. Diadaptasi dari buku “Between A Rock and A Hard Place”, flm ini mengisahkan si penulis itu sendiri, Aaron Ralston. Seorang pendaki gunung dan pegiat alam bebas yang terjebak selama 127 jam atau sekitar 5 hari di sebuah ngarai di daerah Utah, Amerika Serikat, karena tangannya tertindih batu besar.

Selama terjebak, Aaron merekam dirinya sendiri dengan handycam (ngevlog) yang sedang berusaha melepaskan tangannya yang terjepit. Ia mencoba segala cara agar tangannya bisa terlepas, dari mulai mengangkat batu besar dengan peralatan seadanya yang ia bawa, sampai mengikis batu besar, tapi semua usahanya sia-sia.

Makin lama ia terjebak, makin menipis pula persediaan makanan yang ia bawa. Sampai- sampai ia harus minum dari air kencingnya sendiri. Akhirnya, ia memutuskan untuk melakukan tindakan ekstrim. Memotong tangannya! Yang lebih bikin ngilu lagi, ia memotong tangannya dengan pisau lipat kecil yang tidak tajam. Semua itu dilakukannya demi bisa lolos hidup-hidup dari ngarai tempatnya terjebak.
Film ini saya tonton ketika masih SD. Waktu itu belum ada layanan streaming seperti sekarang, saya ingat sekali ketika itu saya meminta orang tua saya untuk disewakan CD film ini. Pertama kali membaca review film ini di sebuah majalah, saya langsung tertarik. Bahkan kalau tidak salah, saya beberapa kali menonton ulang film ini. Terutama di bagian Aaron terjepit dan berusaha melepaskan tangannya. Salah satu bagian menarik dari film ini adalah ketika, Aaron yang diperankan oleh James Franco, merekam dirinya sendiri selama terjebak di ngarai. Saking lamanya dan hampir putus asa, Aaron hampir menjadi gila.

Film ini lah yang membuat saya penasaran dengan kegiatan alam bebas. Ditambah peralatan pendakian yang beragam, di usia saya yang masih 11-12 tahun, hal itu cukup memukau. Seorang pendaki dengan beragam peralatan dan pernak-perniknya, adalah seorang yang keren dimata saya.

Trailer 127 Hours

2. Into The Wild (2007)

Ini film sudah rilis lama. Tapi saya menontonnya belum lama. Tepatnya tahun 2020, di awal-awal pandemi merebak. Film ini sebenarnya sudah masuk watch list cukup lama, tapi sebagaimana kebiasaan kita, kemunculan film-film baru menggeser semua film watch list. Wkwkwk…

Lagi-lagi, ini film berasal dari adaptasi buku. Menceritakan seorang bernama Christopher McCandless atau yang dikenal juga dengan Alex Supertramp yang berpetualang di alam bebas (ingat lagi ini kisah nyata). Setelah menyelesaikan kuliahnya, Alex memutuskan untuk pergi (kabur) dari rumah dan memulai petualangannya.

Pemuda ini pergi dari rumah bukan karena hidupnya berantakan. Sebaliknya, hidupnya nyaris sempurna. Lulus sarjana dengan 2 jurusan, sejarah dan antropologi. Hidupnya berkecukupan. Ayahnya bekerja untuk NASA dan ibunya bekerja di sebuah perusahaan pembuat pesawat terbang. Namun tampaknya kesuksesan di dunia kerja menjadi beban bagi keduanya. Ayah dan ibu Alex dikisahkan sering cekcok dan bertengkar di rumah.

Alex merasa hidup yang dijalaninya penuh dengan kepalsuan. Dunianya dipenuhi dengan orang-orang (termasuk keluarganya) yang mencari kebahagiaan semu. Atas dasar itu, Alex memutuskan memulai hidup baru.
Pilihannya cukup ekstrim. Alex memilih hidup di alam bebas. Semua barang-barang berharga ia tinggalkan, termasuk mobilnya. Seluruh isi tabungannya ia sumbangkan pada organisasi sosial, sisa uang yang masih ia bawa dibakar. Alex menempuh perjalanan yang cukup panjang, dari Arizona sampai Alaska.

Di dataran luas Alaska lah, ia banyak menghabiskan waktunya. Hidup bebas jauh dari peradaban. Alex bertahan hidup dengan perlengkapan seadanya, makan dari hasil berburu, sembunyi dari binatang buas, mengandalkan alam sebagai penyambung hidupnya. Ia tinggal di sebuah bangkai bus. Selama petualangannya, Alex bertemu dengan berbagai orang, melalui mereka Alex banyak berdiskusi mengenai makna hidup dan kebahagiaan. Beberapa orang yang ditemuinya, menyarankan agar Alex kembali ke rumah dan melanjutkan hidupnya di kota, tapi Alex menolak dan memilih tetap dengan kehidupan alam bebasnya.

Selama petualangannya, Alex rajin menulis catatan harian tentang apapun yang ia lakukan. Mulai dari cara berburu hewan, tumbuhan-tumbuhan yang ia konsumsi, bagaimana ia bertahan hidup melewati pergantian musim. Singkat cerita, Alex wafat disebabkan oleh gabungan kelaparan dan keracunan (kalau tidak salah, saya lupa-lupa ingat). Jasadnya ditemukan pada Mei 1992, oleh seorang pemburu ketika ia hendak mencari tempat berteduh. Kelak, bangkai bus tempat tinggal Alex dipindahkan dan menjadi destinasi wisata di Alaska.

Bagian keren dari film ini adalah persepsi Alex yang dikisahkan keliru. Awalnya ia mengira kebahagiaan sejati bisa diraih dengan hidup di alam bebas, peradaban manusia hanya berisi kepalsuan dan kebahagiaan semu. Namun, di akhir hidupnya, Alex menderita dan membutuhkan pertolongan orang lain. Di akhir film dituliskan sebuah kutipan dari buku catatan Alex, bunyinya kurang lebih, “Happiness only real when shared.”

Alih-alih tercerahkan, setelah melihat film ini saya justru ingin menjajal hidup seperti Alex. Saya menjadi yakin jika kebahagiaan itu nyata jika kita punya orang lain untuk merasakannya juga, tapi saya juga ingin merasakan sebaliknya. Saya jadi penasaran bagaimana rasanya hidup di alam bebas. Wkwkwk…

Trailer Into The Wild

3. Tick, Tick… Boom!

Saya ingat sekali, film ini saya tonton pagi hari setelah mengantar adek saya sekolah, tepat di hari ulang tahun saya. Ketika itu seharian cuaca mendung, bahkan saya ingat baju yang pakai ketika itu; sweater hitam dan celana jeans robek-robek lungsuran ayah saya. Film ini menyebabkan saya merenung dan menghabiskan waktu seharian rebahan diatas kasur.

Film biografi ini menceritakan kisah Jonathan Larson, salah seorang komposer musik dan penulis teater musikal sukses asal Amerika. Menariknya, tokoh Jonathan Larson di film ini diperankan oleh Andrew Garfield, pemeran Spider-Man terbaik versi saya.

Film ini mengisahkan kesuksesan teater musikal karya Larson, Rent (1996) dan Tick, Tick… Boom! (). Jonathan menulis musik sejak lama, bahkan ia sudah dekat dengan dunia teater sejak kecil, mimpinya adalah menghasilkan sebuah drama teater musikal yang dipentaskan di Broadway, tapi sampai usianya yang ke-30, mimpi itu belum juga terwujud. Ditambah lagi, Jonathan ketika itu ‘hanya’ bekerja di sebuah restoran cepat saji.

Film ini mengisahkan kebimbangan hati Jonathan, di usianya yang tidak lagi muda, ia belum berhasil meraih mimpinya. Teman-teman bahkan kekasihnya meragukan kemampuannnya, bahkan ia sendiri. Ia sempat mendapat kesempatan menampilkan karyanya di depan produser, tapi ternyata tidak berhasil. Karyanya hanya berujung demo dan belum diterima untuk dipentaskan di Broadway.

Jonathan kecewa, ditambah lagi ia dikejar-kejar waktu. Sedangkan kekasihnya sukses di pekerjaannya, sahabat baiknya yang sejak kecil bersamanya, memutuskan untuk bekerja kantoran dan hidup mapan. Jonathan merasa dikhianati. Ia berjuang mewujudkan mimpinya di tengah kondisinya yang semakin menyedihkan.

Setelah melalui beberapa kejadian, termasuk mengetahui fakta bahwa selama ini sahabatnya menderita penyakit mematikan, Jonathan memutuskan untuk meneruskan mimpinya menulis musik

Satu lirik lagunya yang membekas sekali di ingatan saya, lirik yang menggambarkan perjuangan seorang Jonathan Larson menjadi komposer musik:

Fear or love, Baby?
Don’t say the answer
Action speaks louder than words

Selama menekuni karir, Jonathan digerakkan oleh 2 motivasi terbesar: ketakutan dan cinta. Ketakutan akan kegagalan dan cinta pada apa yang ia kerjakan, dalam hal ini musik. Saya merasa hal ini juga dirasakan oleh banyak orang akan hal-hal yang ia cintai, termasuk saya.

Saya jadi berpikir apa yang selama ini terjadi dengan saya. Jika saya digerakkan oleh ketakutan, saya bisa saja berhenti mengerjakan apa yang saya cintai jika pada akhirnya saya selalu gagal. Sedangkan, jika motivasi utama saya adalah cinta, mau sukses ataupun gagal, saya akan terus melakukan apa yang saya cintai. Seperti Jonathan Larson, yang tetap menulis musik walaupun gagal terus-terusan dan hidupnya menyedihkan.

Pada akhirnya pertunjukkan teater karya Jonathan Larson, Rent (1996) berhasil dipentaskan. Sayangnya, sebelum teater itu dipentaskan untuk pertama kalinya, Jonathan Larson meninggal dunia karena aneurisma aorta, di usianya yang ke-35.

Bayangkan, seumur hidup berjuang mewujudkan hal yang kamu cintai. Ketika tiba waktunya terwujud, waktumu habis dan tidak ada kesempatan untuk melihatnya.

Trailer Tick, Tick… Boom!

Tinggalkan komentar