Gemerlap di Tengah Ibadah Sunyi

Kita sering diingatkan, bahwa definisi puasa tidak hanya sekadar menahan lapar dan haus, melainkan juga nafsu-nafsu duniawi. Makan dan minum pun bukan satu-satunya (dua) hal yang akan membatalkan puasa seseorang. Hal ini juga yang menjadikan puasa (sebenarnya) tidak semudah itu, meskipun selama bulan Ramadhan setan-setan dibelenggu, musuh utama orang yang berpuasa adalah dirinya sendiri.

Puasa adalah menahan nafsu. Nafsu makan, minum, nafsu merusak, nafsu berlebihan, serta nafsu-nafsu yang lain. Termasuk, bagi kita, menahan diri dari kegemaran akan eksposur dan gemerlap dunia modern.

Selain menahan nafsu, kita juga berkali-kali diingatkan jika ibadah puasa bukanlah ritual agama semata, namun juga bisa bermakna solidaritas sosial. Habuluminallah, juga Habluminannas. Menahan lapar dan dahaga di siang hari membangun empati kita pada saudara-saudara kita yang diluar bulan Ramadhan kesulitan merasakan perut kenyang.

Berbeda dengan ibadah yang lain, puasa bersifat sirriyah atau rahasia. Sebab yang mengetahui seseorang itu berpuasa, hanya Tuhan dan dirinya sendiri. Tidak seperti sholat, zakat, ataupun haji, yang bisa disaksikan orang lain, puasa adalah ibadah yang tidak tampak. Ibadah diam-diam. Ibadah yang sunyi.

Namun, rasa-rasanya berpuasa Ramadhan di era sekarang ini sulit dimaknai sebagai ibadah yang ‘sunyi’. Bulan puasa di era modern lebih sering dilihat sebagai momen perayaan. Alih-alih merefleksi diri dan beribadah secara sunyi, kita justru terbiasa untuk “memeriahkan Ramadhan”, dan ‘meriah’ hampir selalu berkonotasi ‘gemerlap’.

Kita seringkali dengan sengaja ‘melupakan’ lapar dan haus dengan beragam aktivitas, dengan alasan produktivitas dan ‘timbangane tura-turu’. Justru terkadang produktivitas itulah yang menghilangkan nilai solidaritas sosial.

Bagaimana bisa puasa berarti mengeratkan persaudaraan, sementara -diakui atau tidak- ketika melakukan kegiatan berbagi takjil dan buka puasa, terkadang kita niatkan bukan untuk berbagi dan menjadi sejajar, melainkan masih dalam rangka “memeriahkan Ramadhan”, alias ‘ya kali puasa nggak bagi-bagi takjil’, atau ‘turun ke jalan yuk, biar kayak yang lain’.

Dimana letak solidaritas sosial, jika lapar dan haus yang kita rasakan, bukan dalam rangka belajar keikhlasan dan menundukkan hawa nafsu, melainkan untuk menunggu berbuka puasa dengan menu-menu mewah dan kegiatan ngabuburit yang meriah?

Saya terlalu naif, setiap orang tentu punya ujiannya masing-masing ketika berpuasa. Berpuasa bagi mereka yang berada di tengah hutan yang sedikit godaan nafsu duniawinya, berpahala lebih sedikit, daripada mereka yang berpuasa di tengah gemerlapan dunia, bisa saja sebaliknya, bukan? Setiap orang memiliki cara dan ujiannya masing-masing untuk menjangkau Tuhan.

Puasa sebagai ibadah yang sunyi, memiliki kesulitannya masing-masing bagi para pelakunya, dan sudah tentu ada campur tangan dunia yang semakin materialistis di dalamnya.

Semoga kita selalu diberikan kemampuan untuk menahan diri dan meluruskan niat. Selamat menunaikan ibadah puasa di sisa Ramadhan, teman-teman. Berkah selalu!

Tinggalkan komentar