Asupan Cerita Baik

Dulu waktu SD -lupa kelas berapa- aku pernah dapet pertanyaan, entah baca, apa denger dari orang lain aku lupa.

Pertanyaannya sederhana: Misalnya kamu tinggal di tempat kumuh, atau seluruh dunia ini penuh sampah dan akibatnya kemana-mana baunya nggak enak, gimana caranya menghilangkan bau busuk tadi? Gimana caranya biar kemanapun pergi jadi nyaman?

Jawaban ‘gampang’nya: Bersihin sampah-sampah itu, semprot pewangi ke setiap jalan yang mau dilewati. Atau kalau males, cukup bersihin lingkungan sekitarmu dan biar nggak bau ya nggak usah kemana-mana.

Itu jawaban paling gampang, paling masuk akal, jawaban yang biasa, dan pasti semua orang bisa jawab.

Ternyata ada cara yang lebih gampang lagi. Cara yang nggak biasa.

Kalau seluruh dunia ini bau, gimana caranya biar kita nggak mencium bau itu?

Caranya: Semprot atau olesin aja parfum di hidungmu! Jadi mau kemana aja, bahkan ke tempat yang baunya paling busuk sekalipun, yang kita cium tetep bau wangi parfum.

Itulah sudut pandang.

Baik dan buruk itu tergantung yang memandang. Bukan apa yang dipandang. Sebusuk apapun bau sampah, kalau hidungnya yang wangi, ya bakal tetep wangi.

Kalau mau bikin sedunia wangi, nggak perlu bersihin semua sampah dan bikin hujan pewangi buatan. Kita cuma perlu hidung yang ‘wangi’. Kita perlu parfum. Parfum itu adalah sudut pandang. Sudut pandang lahir dari keyakinan dan pemahaman. Keyakinan dan pemahaman lahir dari pengetahuan dan pengalaman.

Hematnya, pengetahuan dan pengalaman bersumber dari cerita-cerita dan informasi. Cerita membentuk pengetahuan kita, pengetahuan membentuk pemahaman dan keyakinan, pemahaman dan keyakinan membentuk sudut pandang kita. Cerita-cerita membentuk hidup kita.

Setiap hari kita mengonsumsi cerita. Cerita ada dimana-mana. Setiap hari kita sibuk dengan ponsel kita; mengakses berita, mencari cerita. Informasi-informasi itu kita baca, lihat, dan dengar. Kemudian masuk ke kepala dan mendekam disana. Ketika tidur pun, cerita-cerita memburu kita, dalam bentuk mimpi.

Masing-masing kita mengonsumsi cerita-cerita yang berbeda. Masing-masing bebas memilih cerita mana yang dia suka, masing-masing punya ponsel sendiri-sendiri dan akun media sosial sendiri-sendiri.

Aristoteles pernah bilang,“Cerita-cerita buruk membuat kehidupan kita dekaden.”

Cerita buruk buat hidup kita dekaden. Merosot. Mengalami kemunduran. Ibarat hidung tadi, semua hal yang kita cium akan berbau busuk, dan bisa bertambah busuk.

Yang jadi masalah, sekarang ini kita hidup ditengah-tengah kepungan cerita buruk. Kita ditodong lewat berbagai media sosial, dalam bentuk berita palsu, hoax, kekerasan, amoral, perselisihan, gosip.

Mau nggak mau cerita harus ada di kehidupan kita. Nggak ada cerita kita akan kesepian. Tapi, kebanyakan konsumsi cerita juga bikin hidup sumpek, nggak tahan, dan capek.

Apalagi semua orang bebas mengakses cerita. Siapapun bisa jadi dokter, bisa jadi ahli agama, bisa jadi dosen, politikus, bahkan pemain bola. Semua orang bebas komentar. Belum selesai dengan gempuran cerita-cerita buruk, ditambah lagi gempuran komentar dari orang-orang. Memang nggak langsung kerasa, tapi semua cerita itu nggak akan langsung menguap. Mengendap di dalam kepala, pelan-pelan turun, dan akhirnya hidung kita hanya akan mencium bau busuk, kita akan memandang bahwa dunia ini menyeramkan.

Disaat itulah kita butuh asupan cerita-cerita baik. Kita bebas lho memilih cerita yang akan berdiam diri di kepala masing-masing. Darimana asalnya cerita-cerita baik? Banyak tempat. Buku misalnya.  Saat dimana orang-orang tua yang harusnya memberikan teladan malah saling hujat di media sosial, buku bisa jadi alternatif untuk memperoleh cerita-cerita baik. Cerita-cerita yang akan membuat kita percaya bahwa hidup adalah sesuatu yang berharga untuk dijalani, kata A.S. Laksana. Cerita-cerita yang memungkinkan kita menikmati hidup; bersimpati, berempati, dan mengambil suri teladan.

Selain buku, apa ada lagi tempat dimana kita bisa dapat cerita-cerita baik? Ada. Film salah satunya. Apalagi ketika wabah pandemik ini kita dihimbau untuk berdiam diri di rumah, menonton film bisa jadi cara ampuh untuk menolak bosan.

Kemudian masalah muncul lagi, karena kita di rumah tidak hanya sehari-dua hari, kita perlu stok cerita-cerita baik, buku-buku, dan tentunya juga film. Kita minta rekomendasi dari teman-teman kita judul buku dan film yang bagus, rekomendasi cerita-cerita yang bisa mengusir rasa bosan sekaligus membentuk hidup kita. Cerita-cerita tadi  memburu kita; novel fiksi, komik, film, dokumenter, serial Netflix, HBO, serial superhero,drama korea, sinetron, semua itu memburu kita. Untungnya kita bebas memilih cerita mana yang akan kita konsumsi. Masalahnya lagi, kita merasa harus membaca dam melihat semua cerita-cerita itu. Biar bisa ikut nimbrung di grup whatsapp.

Oiya, apakah film bergenre thriller dan horor juga termasuk cerita baik? Mungkin iya, mungkin nggak. Bisa jadi tidak kalau cerita itu menambah ketakutan akan sesuatu di hidup kita. Tapi bisa jadi iya, ketika kita selesai menonton cerita itu dan kemudian melihat sekeliling kita, bersyukur karena semua akan baik-baik saja, film itu hanya fiksi. Mungkin.

Apapun itu, tak henti-hentinya kita berharap agar musibah ini segera selesai. Kita bebas keluar rumah lagi, dan semua kegiatan di Bumi ini kembali berjalan. Berkumpul bersama teman-teman, mengalami cerita-cerita baik. Membuat pengalaman menyenangkan yang layak dikenang. Juga karena salah satu cerita baik yang mudah didapatkan, bagiku setidaknya adalah berita kemenangan tim sepakbola dan tim basket kesayangan.

Semoga semua lekas sembuh, NBA, liga Champions, dan liga Inggris kembali berjalan, dan aku bisa kembali mengawal Manchester United berlaga. Atau daripada menunggu jeda yang entah sampai kapan ini, setidaknya ada kepastian bahwa Liverpool tidak akan menyandang gelar juara liga Inggris musim ini.

Wkwkwkwk….

Tinggalkan komentar