Mabar Sebagai Tindakan Budaya

Dewasa ini, asik dewasa ini. Main game nggak bisa lagi cuma diafiliasikan dengan kelompok usia tertentu, banyaknya jenis game dan mudahnya akses untuk mendapatkannya menyebabkan game jadi sebuah kegiatan yang tidak mengenal usia . Dari anak-anak kecil sampe bapak-bapak semua main game. Apalagi generasi saya, masyarakat golongan usia produktif.


Sudah menjadi kesepakatan bersama, jenis game yang paling sering dimainkan oleh masyarakat adalah game-game yang dimainkan melalui smartphone atau mobile, selain mudah dimainkan dimana saja dan kapan saja, kualitas gambar dan suara seta fitur game mobile udah nggak kalah dibanding game-game PC dan konsol video game.


Saking menjamurnya, fenomena game ini tidak lagi bisa dilihat sekadar permainan untuk mengisi waktu luang. Game menjelma menjadi produk budaya pop yang sekelas dengan musik dan film, genre-genre game sudah selayaknya genre musik dan film yang kini berfugsi sebagai identitas. Bahkan menganggap game sebagai sebuah ‘permainan’ rasanya sudah tidak relevan, karena sekarang beberapa game sudah jadi cabang olahraga yang dilombakan secara resmi bahkan sampai tingkat internasional.


Walaupun sudah menjamur dimana-mana, tentu tetap ada orang-orang yang tidak bermain game, golongan masyarakat yang memilih jalan sepi dan tidak melakukan praktik budaya Mabar entah karena tidak tertarik, tidak punya waktu, atau alasan lainnya. Sialnya, aku termasuk kedalam golongan ini, golongan minoritas yang rela diajak nongkrong hanya untuk ditinggal mabar. Wkwkwk…


Tentu tidak menjadi masalah jika game hanya ‘sekadar’ game, tapi kayak yang tadi aku bilang, game sudah berubah menjadi sebuah identitas, mabar menjadi syarat diterima di tongkrongan. Pernahkah teman-teman sekalian merasa tersisihkan ketika berkumpul bersama kelompok kalian karena tidak mengerti topik pembicaraan? Atau pernahkah kalian merasakan sepi padahal sedang berada ditengah-tengah keramaian, semata-mata hanya karena kalian sendiri yang tidak bermain game?


Memang bagi kami kaum laki-laki, topik pembicaraan dalam sebuah tongkrongan luas cakupannya, dari sepakbola, basket, olahraga lain, politik, bahkan hal-hal filosifis dan msitis seperti surga dan neraka biasa menjadi topik pembicaraan ketika berkumpul, tapi rasa-rasanya semakin kesini motif untuk berkumpul semakin mengerucut, ya apalagi kalau bukan mabar. Atau berkumpul dalam rangka apapun rasanya belum lengkap kalau belum bermain game bersama. Bagi kami yang tidak bermain game, kadang timbul perasaan diasingkan dari pergaulan. Loh, kenapa seakan-akan game jadi syarat diterimanya seseorang di masyarakat?


Persoalan game ini semakin hari semakin bikin kepikiran, aku yang semakin hari lingkar pertemanannya semakin kecil disebabkan faktor usia, masa iya harus semakin kecil lagi karena faktor budaya (game) ini? Hal ini membawaku merenungkan banyak hal dan salah satunya adalah, kenapa sampai sejauh ini tidak ada juga dorongan untuk bermain game? Dulu pernah sih download Mobel Lejen, baru nyobain tutorial langsung hapus, selain belum nemu dimana asyiknya, kondisi hp dengan memori internal terbatas alias kentang juga jadi penyebabnya. Tuh kan, bukti kalau game menciptakan kelas-kelas sosial di masyarakat, mereka yang tidak punya kemampuan mengakses game atau hpnya kentang kayak aku gini, nggak bisa nongkrong bareng teman-teman lain yang hobinya main game.


Berbekal ingatan seadanya, aku melakukan sebuah tinjauan historis kenapa sekarang aku tidak bermain game. Kelas 3 – 4 SD seingetku adalah masa pertama kali munculnya game online, waktu itu warnet layaknya coffeshop di era sekarang ini selalu rame. Nah, sewaktu teman-teman seumuran pada sibuk main game dan bolak balik ke warnet, aku waktu sedang pindah sekolah. Nggak cuma pindah sekolah, tapi juga pindah rumah. Ketika orang lain mikirnya udah soal game, aku masih sibuk mikirin gimana caranya punya temen baru dan berani kenalan duluan sama orang-orang lain. Jadi kalau diruntut, memang dari dulu aku nggak familiar dengan game online. Bahkan beberapa teman ada yang heran pas aku cerita kalau aku belum pernah main Point Blank dan Lost Saga, dua game yang paling hits pada jamannya.

Tapi bukan berarti aku nggak pernah main game. Dilahirkan di keluarga yang Alhamdulilah berkecukupan, aku punya banyak pengalaman dengan game. PlayStation 1, 2, dan PlayStation Portable pernah aku jajal. Belum lagi game-game PC. Jangan salah, dulu kecil aku anaknya game banget, aku dibesarkan oleh kerasnya persaingan di jalanan Crash Bandicot, genderang perang Metal Slug, disiplin kerja Pizza Frenzy, bahkan aku dididik menjadi seorang perfeksionis yang selalu sempurna menyelesaikan misi memperoleh tiga bintang di setiap level Angry Birds. Satu-satunya game yang masih aku mainkan sampai sekarang adalah Pro Evolution Soccer atau sesekali FIFA, itupun biasanya numpang punya temen, lagi-lagi karena alasan keterbatasan memori.

Tidak pernah terpikirkan perkara game ini bisa berdampak pada kehidupan sosial, suatu hal yang dari ketika kecil dulu jadi ‘jalan keluar’ dari segala persoalan hidup waktu itu, sekarang berbalik jadi ‘pintu masuk’ berbagai persoalan baru yang nggak pernah terpikirkan sebelumnya. Apalagi kalau bukan efek samping kemajuan teknologi dan membuminya budaya pop.

Beberapa hari yang lalu aku baca sebuah esai yang ditulis Seno Gumira Ajidarma, salah seorang sastrawan hebat yang dimiliki negeri ini. Di esainya yang berjudul “Guru Para Hominid” beliau bercerita keresahannya soal pembangunan kandang gorila yang memakan biaya sampai lima miliar. Bagi seorang sastrawan, pembangunan kandang gorila aja bisa jadi sebuah renungan. Diceritakan disitu bahwa gorila di dalam kandang adalah representasi kehidupan kita sebagai manusia, ketika kita melihat gorila ‘terperangkap’ di dalam kandang kita bisa merenungkan makna kehidupan kita, kita ini hidup sebagai manusia dengan segala kebebasannya atau malah selama ini kita terperangkap oleh perdaban yang kita bangun sendiri?

“Di kebun binatang Ragunan, orang akan mengarahkan pandangan mereka ke gorila yang ada dalam kandang, tetapi yang akan benar-benar mereka lihat adalah terkurungnya diri mereka sendiri . Siapa diantara kita yang mengatakan bahwa kita manusia tidak terperangkap oleh dunia yang kita bangun? Peraturan, nilai, dan lembaga sosial kita telah menjadi rantai atau belenggu sehingga sepanjang hidup kita berjuang terus-menerus untuk membebaskan diri dari kungkungan itu”

Lihat aja bagaimana hal sepele seperti game yang awalnya diciptakan dengan niat menyenangkan manusia justru berbalik arah menjadi sumber masalah. Bukankah ketika kita sedang bosan kemudian mengisi waktu dengan bermain game, justru dari situ akan timbul rasa bosan yang baru?

Ternyata bener, semakin hari hidup menjadi seorang manusia semakin rumit. Wkwkwk…

Tinggalkan komentar