Menemukan Italia dan Mencintai Sepak Bola Sebagai Seorang Awam

Mungkin begini analoginya: Inggris bagi saya sudah seperti Korea bagi banyak kaum hawa. Cinta.

Saya cinta Inggris tanpa alasan yang jelas. Sejak kecil. Sejak saya melihat bus tingkat berwarna merah, sejak itu muncul keinginan yang kuat bahwa suatu saat saya akan sampai di kota itu dan berkeliling naik bus merah. Bahkan sampai sekarang saya masih menyimpan mimpi untk melanjutkan kuliah di negaranya Mr. Bean tersebut. Banyak hal yang membuat saya jatuh cinta dengan Inggris; musik, aksen british yang seksi, topi flat cap, bus tingkat berwarna merah, kota London, sampai sepak bola. Saya adalah fans salah satu klub bola asal Inggris, Manchester United.

Sewajarnya sebagai pendukung klub asal Inggris dan penggemar liga primer, saya juga mengikuti perkembangan timnas Inggris, alasannya karena United berasal dari Inggris dan menyumbang beberapa pemain di timnas. Masih segar dalam ingatan saya ketika Inggris bertemu Italia di perempat final Piala Eropa 2012, dengan skor imbang 0 – 0 pertandingan terpaksa dilanjutkan ke babak adu penalti.

Inggris unggul sementara 2 -1 setelah Riccardo Montolivo gagal mengeksekusi penalti, benar-benar sementara karena setelahnya Andrea Pirlo berhasil menyarangkan bola di gawang Joe Hart. Andrea Pirlo berlari pelan menuju bola, melihat Joe Hart terlebih daulu bergerak kearah kanan, dengan tenangnya Pirlo mencungkil bola ke tengah gawang. Joe Hart terkecoh. Sebuah Panenka yang sempurna. Seingat saya itulah pengalaman pertama saya menyaksikan tendangan Panenka dalam sepakbola. Saat itu juga saya dibuat takjub, sekaligus kecewa. Takjub karena Joe Hart sempurna terkecoh dan Pirlo melakukannya dengan sangat tenang, dan kecewa karena ’kenapa gol secantik itu harus terjadi kepada timns Inggris yang dibela oleh beberapa pemain Manchester United?’

Setelah pertandingan tersebut saya sempat ‘membenci’ Andrea Pirlo. Tidak bertahan lama karena setelahnya saya jadi mencari tahu banyak mengenainya. Bukan sebuah kebetulan Pirlo sukses melakukan penalti dengan cantik, ia memang spesialis bola-bola mati, banyak gol yang diciptakannya berasal dari tendangan bebas. Kebencian saya terhdadapa Andrea Pirlo berubah menjadi kekaguman kepada salah satu gelandang terbaik di dunia itu.

Akhirnya saya sampai pada keyakinan bahwa saya mengidolakan l’architetto, julukan Andrea Pirlo yang artinya “Sang Arsitek”. Berawal dari benci karena golnya ke gawang Inggris, kemudian berbalik menjadi berharap ia mencetak gol disetiap pertandingan yang ia mainkan. Saya harus menghadapi kenyataan bahwa saya tidak bisa mendukungnya, ia tidak bermain untuk tim kebanggan saya, Manchester United, sekalipun ia tidak main di liga Inggris. Saya tidak bisa mendukung Juventus (timnya saat itu) atau tim-tim yang pernah ia bela seperti AC Milan dan Inter Milan. Saya mengidolakan Andrea Pirlo, namun hati saya sudah terkunci untuk Manchester United. Barangkali saya termakan kutukan salah satu legenda Manchester United, Eric Cantona, yang mengatakan: “You can change your wife, your religion, politics, but never, never can you change your favourite football team”. Tapi saya selalu mengidolakan Andre Pirlo, dan saya punya pilihan lain agar cinta saya semakin sempurna, yaitu mendukungnya ketika berseragam Italia.

Kau tidak bisa merubah tim sepak bola favoritmu dan selanjtunya saya dihadapkan dengan kenyataan bahwa saya tidak benar-benar mendukung timnas Inggris. Satu-satunya alasan saya ‘mengikuti perkembangan’ (karena mendukung masih meragukan) timnas Inggris adalah karena saya mendukung salah satu klub bola asal negera tersebut. Sejak itu disetiap major event sepakbola, saya selalu dihadapkan dengan dilema antara mengawal timnas Inggris dengan beberapa pemain Manchester United dalam skuatnya, atau mendukung timnas Italia dan melihat idola saya, Andrea Pirlo berlaga.

Waktu berjalan dan mengubah banyak hal. Saya berkenalan dengan Basket dan pelan-pelan meninggalkan berita sepakbola dan lebih sering mengikuti perkembangan dunia basket. Sampai akhirnya setelah lima tahun lebih, setahun belakangan saya Kembali rajin mengikuti perkembangan sepakbola. Selain Mancester United yang melaju ke final Liga Eropa kemarin, kembalinya saya sering menonton pertandingan sepakbola disebabkan oleh Piala Eropa 2020. Namanya 2020 tapi dilaksanakan 2021. Masih dengan dilema yang sama, saya masih bingung antara Inggris dan Italia, mana yang harus saya dukung di Piala Eropa kali ini. Saya pun memantau perkembangan kedua tim di fase grup, Inggris yang tampil adaptif dengan pemain-pemain mudanya, dan Italia yang meyakinkan dengan gaya barunya.

Sudah lama saya tidak menyaksikan pertandingan dengan setenang ini, terakhir seingat saya ketika Manchester United masih diasuh Sir Alex Ferguson. Setelah sekian lama kesempatan itu datang lagi, saya kembali merasakan ketenangan ketika menyaksikan Italia berlaga. Italia tampil gemilang, setiap pertandingan yang dimainkannya diawal-awal fase grup tidak membuat saya khawatir akan kekalahan. Disamping itu, Inggris masih mencari pola bermainnya bersama pemain-pemain mudanya. Dengan cepat akhirnya saya putuskan: Mulai Piala Eropa 2020 ini sampai seterusnya Italia akan menjadi favorit saya.

Alasannya? Karena saya menikmati rasa tenang ketika melihat Italia bermain. Se simple itu. Saya tidak pernah sepaham itu soal olahraga ini, bagi saya selama pertandingannya seru dan enak dilihat itu sudah cukup. Lewat permainannya Italia berhasil membuat saya ‘kembali’ mencintai sepak bola, kembali rela bangun tengah malam untuk menyaksikan siaran langsung. Keputusan saya sudah bulat, tidak ada lagi dilema antara Inggris atau Italia. Toh, siapa juga yang mewajibkan jika sudah mendukung satu tim, kamu juga harus mendukung negara asal tim tersebut? Di level klub saya mendukung Manchester United, sedangkan untuk negara pilihan saya jatuh kepada Italia.

Sejak awal Italia tidak diunggulkan di Piala Eropa ini, termasuk saya, bahkan saya sempat mengeluh tidak kenal dengan pemain-pemain timnas Italia yang sekarang. Berbekal rasa nyaman menyaksikan Italia saya mulai mengikuti perkembangan timnas ini, menyaksikan siaran ulang ketika saya melewatkan pertandingan, membaca beberapa narasi sepak bola Italia, dan juga mendengarkan ulasan performa Italia oleh para pengamat da jurnalis melalui Spaces, fitur terbaru di Twitter.

Sempat terpikirkan oleh saya untuk mencari tahu lebih dalam mengenai pemain-pemain Italia, tapi kemudian saya urungkan keinigan tersebut. Selain karena saya rasa nggak penting-penting amat, alasan lainnya adalah karena saya masih ingin menikmati sepakbola dengan cara seperti ini, dengan banyak tidak tahunya. Saya masih ingin mencintai sepakbola sebagai seorang awam. Saya masih ingin merasa cukup dengan pertandingan-pertandingan yang seru, tanpa harus mempertanyakan formasi, membandingkan statistik, berspekulasi, dan menghakimi perfoma seorang pemain atau sebuah tim.  Cukup bagi saya ketika rasa senang ketika tim kesayangan saya membuat peluang, dan perasaan harap-harap cemas ketika diserang dan dibawah tekanan.

***

Partai puncak akhirnya mempertemukan antara Italia dan Inggris, dan saya tidak lagi dibebani oleh dilema. Sepenuh hati saya berharap Italia keluar sebagai juara. Inggris bagi saya tidak lebih dari bagian dalam proses pencarian menemukan Italia. Alhasil Italia berhasil memenangkan adu penalti dan keluar sebagai juara, membungkam Inggris di rumahnya sendiri dan memaksa mereka menunda pesta, lagi-lagi sepakbola belum menemukan jalan pulang menuju rumah. Football is not coming home, it is going to rome.

Kenyataan bahwa dalam sepak bola bisa membuat kita tertawa bahagia dan kecewa sejadi-jadinya adalah salah satu alasan kenapa saya mencintai olah raga ini. Jika bagi sebagian orang, sepak bola adalah soal stastistik bagi saya, sepak bola yang hanya soal statistik akan sangat membosankan. Saya tidak paham dan menolak untuk memahaminya, setidaknya sampai saat ini. Saya masih ingin menikmati sepak bola dengan cara ini, mencintainya sebagai seorang awam.

Ada yang mengatakan bahwa Italia sudah juara jauh sebelum mengalahkan Inggris di final. Sejak Italia bertemu Roberto Mancini, sejak Italia menerima kekalahan dan menemukan dirinya kembali. Mengingat Italia yang tidak lolos pada kualifikasi Piala Dunia 2018, kemenangan atas Inggris di final Piala Eropa 2020 menjadi sebuah keberhasilan yang sempurna.

Dibalik Italia yang menemukan dirinya kembali, saya menemukan cinta saya yang baru.

Satu tanggapan untuk “Menemukan Italia dan Mencintai Sepak Bola Sebagai Seorang Awam

Tinggalkan komentar