Where The Pandemic Have Brought You #3

Layaknya mayoritas santri yang baru saja lulus dari pondok, tahun-tahun awal setelah kelulusan menjadi momentum saya untuk merayakan kebebasan dari segala macam kekangan aturan dan jadwal selama di pesantren, tahun pertama setelah lulus menjadi ajang balas dendam setelah enam tahun hidup di sebuah tempat yang banyak orang menyebutnya penjara suci, walaupun saya kurang setuju karena terdengar berlebihan.

Memanjangkan rambut, nongkrong dengan teman-teman sampai tengah malam, dan menikmati kebebasan menggunakan smartphone adalah sebagian dari wujud balas dendam tersebut. Selebihnya saya berharap mendapat pengalaman-pengalaman baru yang tidak saya dapat selama mondok di pesantren, apalagi setelah lulus SMA saya langsung melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi yang nggak tinggi-tinggi amat.

Tahun pertama di kuliah berjalan sesuai harapan. Saya bertemu dengan banyak orang, berteman dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, mendapat banyak pengalaman, dan tentunya belajar banyak hal. Semester 1 dan 2 berjalan dengan menyenangkan, setiap bangun di pagi hari saya selalu berharap akan menemukan hal baru di hari itu, bertemu dengan banyak orang baru, dan berkunjung ke tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi.

Tapi kemudian, suatu hari dikabarkan seorang warga di kota Wuhan, China tanpa alasan yang jelas menyantap olahan daging kelelawar yang kemudian menyebabkannya sakit, beberpa bulan kemudian penyakit itu menyebar luas dan menjadi berkembang menjadi pendemi di seluruh dunia. Hari-hari balas dendam saya terganggu, momentum merayakan kemerdekaan harus dihentikan, hari-hari yang saya mulai dengan harapan-harapan baru berubah menjadi hari-hari yang membosankan. Pandemi virus Corona merenggut banyak kebebasan dan kebahagiaan, tidak hanya dari saya, tapi juga seluruh manusia.

Pandemi benar-benar banyak mengubah kebiasaan saya, #dirumahaja memaksa saya beradaptasi dengan banyak hal, mengerjakan hal-hal yang baru bagi saya, mengubah jadwal harian, meningkatkan kebersihan dan kewaspadaan, serta mencari celah untuk bersenang-senang dan melakukan kegiatan yang mampu meningkatkan imun. Meskipun pandemi menjadi halangan banyak hal seru untuk dilakukan, yang saya tidak sadari, dari sekian banyak hal seru, ada satu hal yang masih bisa dan selama pandemi ini ternyata saya lakukan, yaitu mempelajari hal baru.

Karena lebih banyak di rumah, Mama sering menyuruh saya untuk melakukan banyak kegiatan rumah tangga, salah satunya adalah mendelegasikan saya membeli keperluan masak di warung atau di pasar. Hal ini sudah saya lakukan sejak lama, pandemi menyebabkan intensitasnya meningkat, dan tentu tugasnya semakin bervariasi. Saya ingat beberapa waktu yang lalu saya harus menahan malu di hadapan pemilik warung ketika berbelanja di warung sayur dan sembako dekat rumah. Ceritanya saya ditugaskan untuk membeli kubis, karena warung sedang ramai pembeli, saya menunggu giliran membayar sambal membawa apa saja yang akan saya beli. Sampai di giliran saya membayar, pemilik warung bertanya apa saja yang akan saya beli sambil mencatat total harga. Ketika saya sebutkan “Kol seperempat, Bu”, sambil menunjukkan kol di tangan saya, tangan si Ibu mengambil pisau dan memotong sebuah kubis lain diatas meja, memasukkannya ke kantung plastik, dan menerima uang saya. Sambil keheranan saya langkahkan kaki menjauhi warung sayur tadi. Sampai di rumah saya berikan belanjaan kepada Mama dan saya ceritakan kronologi singkat kejadian di warung tadi, barulah saya sadar ternyata yang saya pegang di warung tadi, yang saya yakin adalah kubis yang akan saya beli, ternyata adalah sebuah sawi. Sekarang saya tahu, keterbatasan pengetahuan sayalah yang menajdi sebab pemilik warung tadi tersenyum kecil ketika meladeni saya. Sambil melihat gambar sawi dan kubis di google saya berguman, ternyata nggak mirip-mirip amat ya, Woo lha tolol!

****

Karena pandemi juga akhirnya saya belajar memasak. Waktu itu bulan puasa, Mama sibuk menyiapkan takjil untuk berbuka dibantu adik perempuan saya, saya yang nganggur diperintahkan untuk menggoreng nasi sisa sahur. Dimulailah pelajaran memasak oleh Mama, pelajaran pertama: nasi goreng. Saya amati dengan saksama, mengingat urutan memasukkan bahan ke wajan, dan mempraktikannya. Walaupun akhirnya saya kebanyakan nonton dan ngerusuhi, tidak butuh waktu lama bagi saya untuk memahami langkah-langkah membuat nasi goreng. Selanjutnya,setiap mendapati ada nasi sisa, saya berinisiatif untuk menggoreng nasi tersebut, walaupun selalu di komen terlalu asin atau bumbunya tidak merata.

Mungkin terdengar sepele. Nasi goreng doang! Tapi bagi saya ini sebuah pencapain luar biasa, mengingat saya yang memasak nasi saja masih ­sering lupa caranya, jangankan memasak nasi, memecah telur saja sampai sekarang saya selalu ndredheg, jangankan memecahkan telur, manasi sayur saja saya sering kelupaan yang seringkali menyebabkan kuahnya habis.

Selain pekerjaan dapur, saya juga belajar pekerjaan rumah tangga yang lainnya, seperti teknik-teknik dasar pertukangan. Penyebabnya adalah renovasi rumah. Awalnya hanya berniat membetulkan atap rumah yang trocoh ketika hujan, tapi kemudian ada insiden yang menyebabakn plafon rumah jebol jadilah rumah kami di renovasi total. Saya dan keluarga mengungsi ke rumah eyang sampai rumah selesai di renovasi. Karena satu dan lain hal, pengerjaan renovasi rumah molor bahkan memakan waktu hampir setengah tahun! Awal tahun 2021 kemarin saya baru kembali ke rumah setelah selesai di renovasi.

Renovasinya tidak benar-benar selesai, banyak PR setelah saya dan keluarga kembali menempati rumah kami. Dari situlah saya tahu dan belajar hal-hal baru. Cat tembok yang mengelupas disebabkan oleh tembok yang lembab, tembok yang lembab bisa jadi disebabkan oleh kondisi tanah, dan kondisi tanah dipengaruhi oleh kualitas air. Tahulah saya ternyata air di daerah tempat tinggal saya kualitasnya buruk. PR sisa renovasi yang cukup melelahkan adalah kondisi listrik rumah, dugaan kami kesalahan ketika renovasi lah yang menyebabkan listrik di rumah sering mati. Sepekan lebih kami tinggal di rumah ‘baru’ dengan kondisi listrik mati-nyala-mati-nyala. Mendatangkan tukang sampai petugas PLN sudah dilakukan tapi persoalan listrik belum juga teratasi. Mama yang Lelah karena kulkas dan magic com nya tidak bisa berfungsi, akhirnya putus asa dan memutuskan untuk membuat aliran listrik yang baru. Dibantu oleh Om, saya belajar membuat aliran listrik baru, karenanya saya jadi sering bolak-balik toko listrik, tahu jenis-jenis kabel dan pernak-pernik lainnya, Bahkan kini di rumah kami sedia mesin bor untuk menyelesaikan berbagai keperluan rumah tangga.

Saya juga belajar mengecat dinding, pekerjaan lain yang membosankan karena tidak seasyik mengecat diatas kanvas. Sampai sekarang, cat rumah belum selesai, parahnya yang belum selesai adalah cat bagian luar rumah. Jika temn-teman mendapati sebah rumah berwarna belang biru-hijau, itu adalah buah kemalasan saya.

seni

Pandemi benar-benar membawa saya berkenalan dengan banyak hal baru, walaupun terkadang dengan cara yang tidak dikehendaki, dan tak jarang menyebalkan menyebalkan. Tapi rasa-rasanya tanpa adanya pandemi, mbuh-mbuhan saya akan belajar banyak hal, dari memasak, membedakan sayur-sayuran, sampai membuat aliran listrik, membetulkan kran yang bocor, dan membenarkan mesin cuci yang macet.

Yang terbaru, saya sedang belajar merawat tanaman-tanaman di rumah. Sebulan terakhir ini saya sedang gandrung-gandrungnya ngopeni ­wit-witan, awalnya dari Mama yang mewajibkan saya rutin menyiram tanaman hiasnya, kini saya juga ikut-ikutan memelihara sebuah tanaman hias di rumah. Kesibukan merawat tanaman ternyata cukup mengasyikkan. Tidak hanya rutin menyiram dan memindahkan tanaman, saya juga belajar hal-hal apa saja yang bisa mempercepat pertumbuhan tanaman. Mengumpulkan air bekas cucian beras untuk disiramkan ke tanaman, menaburi tanah dengan cangkang telur, dan sekarang sudah mulai mengumpulkan kulit-kulit buah yang sudah dimakan, selain mengurangi sampah organik bisa juga dijadikan pupuk.

tangga sisa renovasi yang saya alih fungsikan menjadi media tanam

Karena keterbatasan pengetahuan saya mengenai tanaman dan malasnya saya menghafal teori-teori baru, saya menerapkan metode trial and error dalam merawat tanaman, misalnya sebuah tanaman saya letakkan di tempat yang banyak terkena sinar matahari langsung, jika dalam beberapa hari tanaman itu layu, saya pindahkan ke tempat yang minim cahaya matahari dan lembab, atau tanaman yang jika disiram banyak air layu, besok-besok akan saya siram dua atau tiga hari sekali. Sekarang setiap pagi saya punya banyak pilhan kegiatan, yang paling mudah adalah mencabuti daun-daun layu dari tanaman di rumah.

nyenengke disawang

Pandemi membawa saya untuk menghargai dan merawat banyak hal disekitar saya.

Tinggalkan komentar