Love-Hate Relationship with Sophistication #1

terinspirasi dari lirik lagu FSTVLST berjudul “Hari Terakhir Peradaban”

Pandemi ini menjadi sebab timbulnya salah satu fenomena yang cukup menarik bagi saya, yaitu banyak orang malas atau bahkan takut membuka aplikasi WhatsApp.

Kenapa menarik? Karena akhirnya keresahan saya banyak dirasakan oleh banyak orang. Jangankan membalas pesan, membuka aplikasi WhatsApp pun saya malas. Dan ini sudah berlangsung sejak tahun pertama saya berkuliah, jauh sebelum pandemi.

Tidak pernah terkira oleh saya jika aplikasi WhatsApp saya akan se-penuh itu, tergabung dalam berbagai grup dan harus menyimpan banyak kontak baru. Bisa jadi karena saya kaget, shock culture. Setelah enam tahun hidup di pesantren, terbiasa hidup tanpa koneksi internet (walaupun sesekali ada laptop dan teman yang diam-diam bawa hp), ketika lulus dan masuk kuliah tidak bisa tidak harus menggunakan hp. Setiap mata kuliah ada grup WhatsAppnya, setiap kerja kelompok, belum termasuk grup kelas dan Angkatan, kegiatan ini itu dan banyak lagi. Kebiasaan saya yang sehari-hari bangun tidur mendengar teriakan petugas piket menyeru untuk bergegas ke masjid, tiba-tiba berganti dengan setumpuk pesan WhatsApp yang belum saya baca dari semalam.

Berbagai cara saya lakukan untuk kabur dari sumpeknya grup dan setumpuk pesan WhatsApp. Waktu itu, mendaki gunung menjadi kegiatan yang sangat saya tunggu-tunggu, selain punya alasan untuk piknik dan melepas penat, juga menjadi momen saya untuk kabur sejenak dari koneksi internet. Suatu ketika saya benar-benar dibuat sumpek oleh WhatsApp dan hp saya sendiri. Tanpa pikir panjang saya memutuskan ‘puasa media sosial’. Saya pernah melakukannya beberapa kali, tapi yang ini berbeda, jika sebelumnya cukup dengan tidak bermain Twitter dan Instagram dalam jangka waktu tertentu, kali ini saya memutuskan untuk tidak aktif menggunakan WhatsApp.

Sebelum berpuasa, terlebih dulu saya kabari orang-orang rumah agar tidak dicari-cari. Setelahnya, saya matikan hp saya dan menyimpannya di dalam laci. Tidak hanya puasa media sosial, saya juga puasa koneksi internet. Butuh waktu untuk membiasakan hal ini, bangun tidur tidak ada hp yang perlu di cek, tidak ada alarm yang perlu dimatikan, tidak ada akun sosmed yang sebentar-sebentar dikunjungi. Bahkan akhirnya saya tidak pernah terbiasa. Tapi mau bagaimana lagi, saya sudah janji mau mencoba hal ini. Rencana awalnya selama seminggu hidup tanpa hp, tapi akhirnya saya hanya mampu bertahan empat hari, penyebabnya adalah kebodohan saya sendiri.

Ketika saya memutuskan untuk beristirahat dari hp, ketika itu Ujian Tengah Semester sedang dilaksanakan. Soal ujian, jadwal, dan semua informasi disebar melalui grup WhatsApp, sedangkan hp saya tidur nyenyak di dalam laci, kurang tolol apalagi coba. Tapi balik lagi, janji saya kepada diri sendiri harus ditepati. Saya benar-benar berangkat kuliah tanpa membawa hp. Hal yang tidak lazim dilakukan di abad 21 ini. Untuk menyiasatinya, saya yang biasanya berangkat ke kampus mepet-mepet harus berangkat lebh awal. Setengah jam sebelum masuk saya sudah berangkat, sebelum masuk kelas, saya mampir ke kos salah satu teman sekelas, hanya untuk bertanya ada kabar apa di grup kelas, dan kalau saya benar-benar tidak tahu informasi saya bertanya mata kuliah apa yang akan diujikan pada hari itu. Sungguh perbuatan iseng yang ngesel-ngeseli awak. Setelah empat hari saya pun menyerah, memutuskan kembali menggunakan hp, berangkat setengah jam sebelum jam masuk itu nggak saya banget.

Dua hal yang saya rasakan setelah berpuasa selama empat hari itu; menyesal dan bersyukur. Menyesal karena harus tabrakan dengan agenda UTS, dan bersyukur karena di hari ke-5 setelah empat hari hidup tanpa koneksi internet itu saya merasakan kedamaian. Bangun pagi tanpa nggresulo, tidak disibukkan oleh pesan-pesan WhatsApp, saya jadi lebih banyak membaca buku, dan saya jadi lebih banyak menaruh perhatian sekitar saya, pada hal-hal sepele, hal-hal yang saya lewatkan ketika sibuk bermain hp.

Tidak berhenti disitu, setelah berhasil puasa koneksi internet selama empat hari, pelan-pelan saya mulai mengurangi penggunaan media sosial. Membuka Twitter dan Instagram hanya di akhir pekan, mulai Sabtu pagi dan log out lagi di Senin subuh. Rutinitas ini bertahan cukup lama, dan saya pun nyaman menjalaninya. Sampai akhirnya pandemi menyerang, rasa bosan di rumah saja memaksa saya berkompromi dengan banyak hal, salah satunya kebiasaan menggunakan media sosial.

Main hp saya kembali tidak terkontrol, rasa sumpek dan stress yang lalu kembali hinggap di kepala saya. Berkali-kali mencoba ‘kabur’ dari koneksi internet gagal, akhirnya balik lagi, keadaan memaksa kita menjaga jarak dan terkoneksi secara virtual. Corona jancok.

Timbul semacam rasa benci terhadap media sosial, terhadap kemajuan teknologi yang begitu pesat, terhadap arus informasi yang tidak bisa dibendung. Cerita lebih lengkapnya bisa dibaca di tulisan lain dengan judul Merdeka dari Informasi. Saya benci virtual meeting, benci zoom, google meet, WhatsApp grup. Apapun yang menjadi alternatif interaksi sosial di masa pandemic. Saya tidak nyaman menggunakannya. Saya jadi tidak pernah mengikuti webinar, rapat online, atau apapun itu. Selain karena merasa sumpek (memang se-sumpek itu) juga karena saya merasa interaksi yang dilakukan secara virtual sangat jauh rasanya dengan interaksi langsung. Nggak dapet feel-nya.

Sambil berusaha mencari celah untuk tetap bahagia sekaligus meningkatkan imun, saya mencari hiburan lain. Tentunya kegiatan yang jauh dari teknologi informasi sumber kesumpekan itu. Pilihan saya jatuh pada hal-hal ‘primitif’. Tidak diduga hal-hal ‘primitif’ ini memberikan saya pengalaman-pengalaman baru yang menyenangkan.

Pandemi menyebabkan saya berkenalan dengan kamera analog, dengan kamera analog saya bertemu dengan orang-orang baru serta singgah di sudut-sudut kota yang belum pernah saya kunjungi. Pembatasan di mall dan pusat perbelanjaan, menjadikan saya lebih banyak keluar masuk pasar tradisional, untuk berbelanja, atau sekadar muter-muter cari foto, selain itu saya juga rajin membeli talenan (pada waktu itu).

foto-foto di pasar Klewer

Kebetulan juga karena pandemi saya kembali sering menggambar, dan kali ini lebih banyak dengan media kanvas. Karena harga kanvas yang tidak murah, saya menggunakan alternatif talenan sebagai media lukis. Seminggu sekali dalam beberapa bulan saya pergi ke pasar untuk nglarisi bakul talenan.

harga talenan kisaran 5.000 – 20.000 rupiah

Ketika ditanya, kenapa memilih menggunakan cat? Kan bisa gambar secara digital? Hasilnya lebih jernih juga, kan? Jawaban saya: Karena melukis menawarkan apa yang tidak bisa ditawarkan oleh teknologi canggih; pengalaman fisik. Saya menikmati setiap coretan kuas, saya menikmati proses mencampur warna, ketika tangan kotor ketumpahan cat, termasuk rasa tegang ketika salah mencoret atau memberi warna. Berkali-kali saya belajar menggambar secara digital, hasilnya nihil. Saya cepat bosan. Juga karena saya belum mahir menggambar secara digital, saya jadi tidak betah.

Pandemi juga membwa saya berkenalan dengan Walkman, alat pemutar kaset tape tahun 90an. Berawal dari rasa pensaran kemudian berkembang jadi tertarik mengoleksi kaset, dan berkembang lagi jadi pelarian saya dari rasa sumpek akibat kehidupan virtual. Akhir tahun 2020 saya rajin berjemur di pagi hari, tidur terlentang di balkon rumah Eyang sambil mendengarkan Walkman, kadang-kadang bisa betah sampai satu album selesai, kadang ketika bosan mendengarkan lagu saya mendengarkan radio, mendengarkan ramalan cuaca hari itu dan pembacaan titip salam untuk orang-orang tersayang.

3 dari 7 album studio Oasis sudah saya miliki

Kan ada Spotify, kenapa milih Walkman yang ribet? Lagi-lagi karena saya muak dengan banyak hal yang instan dan serba cepat. Teknologi mungkin mampu menawarkan kepraktisan dan efisiensi, tapi teknologi belum tentu bisa menawarkan rasa. Mengirim pesan melalui aplikasi akan lebih efektif, cepat sampai dan cepat pula di balas, tapi berkirim kabar melalui WhatsApp dan surat menyurat rasanya akan berbeda, bukan? Teknologi memang praktis, tapi menghilangkan rasa romantis. Itulah yang saya lakukan dengan Walkman. Mengoleksi kaset, memutarnya terlebih dahulu sebelum di dengarkan, menebak-nebak di menit keberapa lagunya selesai dan berganti lagu berikutnya, suara kresek-kresek­, bahkan beberapa kali hilang suaranya, bagi saya itu hal yang romantis. Memilih Walkman dengan segala keribetannya dibanding teknologi pemutar musik modern adalah bentuk ‘perlawanan’ saya terhadap hegemoni teknologi digital yang serba tergesa-gesa.

‘Kebencian’ terhadap pekembangan teknologi semakin menjadi-menjadi ketika banyak urusan adminsitrasi Ibu saya harus dilakukan secara online. Mengurus perpanjangan SIM online, mengurus BPJS online, syarat yang banyak dan ruwet bukannya mempersingkat malah buang-buang waktu, ditambah lagi Ibu saya tidak hafal banyak data pribadinya, jadilah saya yang menghafal email, username berbagai akun, sampai passwordnya, yang terbaru saya mengurus sertifikat vaksin Ibu saya yang tak kunjung muncul karena kesalahan ketika menginput nama dama tahun kelahiran. Bukannya saya setengah hati membantu urusan Ibu saya, tapi memang saya terlanjur males dengan berbagai hal yang disebut ‘teknologi’.

Bagi kebanyakan orang, pandemi menjadi momen percepatan menuju dunia modern yang serba digital, tapi tidak bagi saya, pandemi menyebabkan saya stress dan semakin benci terhadap hal yang serba instan.

(Bersambung ke bagian #2)

Satu tanggapan untuk “Love-Hate Relationship with Sophistication #1

Tinggalkan komentar