Ekspansi Marvel ke Asia

Sejauh ini, phase 4 Marvel Cinematic Universe (MCU) berjalan dengan seru. Dan unik!

Bagi yang belum ‘ngeh’, serangkaian film di dunia MCU dibagi menjadi beberapa babak dengan sebutan phase. Phase 1 dimulai dari film Iron Man (2008) sampai film The Avengers (2012), phase 2 dari Iron Man 3 (2013) sampai Ant-Man  (2015), dilanjutkan phase 3 dari Captain America: Civil War (2016) sampai Spider-Man: Far From Home (2019), dan kini masuk ke phase 4.

Phase 4 ini unik, karena menjadi ‘era baru’ dunia Marvel, dunia setelah perang melawan Thanos. Beberapa Superhero di phase 1-3 diceritakan meninggal atau pensiun, digantikan beberapa superhero baru, masyarakat di dunia marvel mulai ‘familiar’ dengan invasi alien dan makhluk aneh lain, bahkan konsep multiverse diperkenalkan, dan mulai di phase 4 inilah pertama kali MCU tidak hanya terdiri dari film tapi juga series.

Menariknya lagi, jika diperhatikan, film dan serial Marvel di phase 4 ini mulai mengeksplor hal baru: representasi budaya dan ras asia.

Representasi budaya dan isu sosial bukan hal yang baru lagi bagi Marvel, bahkan (mungkin) ini adalah salah satu barang dagangannya mereka. Isu kesetaraan ras melalui superhero kulit hitam, feminisme dan kesetaraan gender melalui scene team up superhero wanita, juga superhero LGBT. Setelah berkutat dengan isu yang ‘itu-itu’ saja, kini MCU menawarkan sesuatu yang baru.

Untuk pertama kalinya MCU memperkenalkan superhero keturunan asia, yaitu Sang Chi, dan superhero muslim pertama, Ms. Marvel. Ekspansi Marvel ke Asia dimulai! Marvel mulai keluar dari latar Eropa dan Amerika, dan menjelajah ke bagian dunia yang lain, termasuk dalam series Moon Knight, seorang superhero dengan kekuatan yang berasal dari dewa Mesir.

Oiya ada satu film lagi, Turning Red, memang bukan film Marvel, tapi menurut saya cara film ini bercerita soal budaya asia mirip dengan cara Marvel.

Di film Sang-Chi, Ms. Marvel, juga di turning Red, tokoh utama di masing-masing film diceritakan tumbuh di keluarga yang kental dengan tradisi leluhur, ditambah mereka punya sosok orang tua yang keras (tegas). Sang Chi dididik secara militer sejak kecil oleh sang ayah, Kamala Khan (Ms. Marvel) dilarang datang ke acara AvengerCon (event bagi para penggemar Avengers), ibunya juga tidak suka ia mengidolakan Captain Marvel karena alasan kostumnya yang ketat. Di Turning Red, Mei menjadi anak rajin dan berprestasi karena tuntutan dan ekspekasi orang tuanya. Ditambah lagi, sang ibu tidak suka anaknya mengidolakan boyband Bernama 4 Town.

Marvel dan Disney jeli melihat bagaimana realitas kehidupan asia jaman sekarang, yang tentunya dekat dengan kita. Konflik antara orang tua yang ‘memaksa’ anaknya tumbuh sesuai tradisi leluhur dan sesuai keinginan mereka, sedangkan si anak yang lebih memilih jalan yang ia sukai, fenomena yang oleh kita biasa disebut dengan istilah Asian ‘strict’ parents. Wkwkwk…

Yang terbaru, di serial Ms. Marvel, ada adegan yang yang mengisahkan sandal milik Nakia (sahabat Kamala) hilang ketika di masjid! Ini cerita yang sangat dekat dengan kita. Minimal sepekan sekali ketika jumatan kita mendapati cerita ini.

Representasi budaya Asia di film Marvel jadi hal yang baru, tapi ini pendapat daya; di satu sisi, dunia Marvel semakin luas, tidak hanya di Amerika dan Eropa, tapi disisi lain ‘wajah’ Marvel (menurut saya) tetap gitu-gitu aja. Dunia Marvel terlihat seperti sebuah dunia idaman dimana semua latar belakang, ras, dan budaya diterima tanpa ada perselisihan. Orang dari berbagai ras, warna kulit, agama, orientasi seksuasl semua bisa jadi pahlawan di dunia Marvel. Semua atribut tadi melekat dan diceritakan sebagai tokoh yang baik. Seakan semua orang berkesempatan menjadi sebuah superhero. Film-film Marvel terkesan sangat ‘politik’, selalu ‘stand for something’.

Baca juga: The Batman, Memanusiakan Superhero bukan Mensuperherokan Manusia

Belum pernah saya dapati di film Marvel, seorang antagonis merepresentasikan sebuah budaya atau isu tertentu. Bukannya realitanya di Amerika sana, beberapa kali terjadi konflik antara budaya? Dengan para imigran, orang kulit hitam, islamophobia. Semua unsur budaya yang dimunculkan di film-film Marvel selalu berada pada sisi yang baik, dan bagi saya lama-lama itu bikin jenuh. Wkwkwk… Meski ada sedikit ‘imbuhan’ seperti di series Ms. Marvel ada adegan dimana masjid di Amerika di grebek, dan orang-orang keturunan Pakistan dan India diminta menunjukkan kartu pengenal.

Memang, represenatsi kehidupan sosial di dunia nyata menjadi salah satu cara Marvel menarik penggemarnya. Semakin relate kita dengan sebuah karya, semakin mudah juga kita menerima karya tersebut. Mengangkat superhero yang berasal dari Asia dan mendirikan sholat serta merayakan Idul Fitri jelas menarik banyak penonton baru dari kalangan tersebut.

Di saat yang sama, saya juga sedang mengikuti series The Boys, salah satu series superhero diluar DC dan Marvel. Dalam series ini para superhero tidak diceritakan sebagai seorang yang baik, melainkan orang dengan kekuatan super yang berlaku seenaknya sendiri, mereka menggunakan kekuatan super mereka untuk meraup kentungna dan membodohi public. Di series ini, representasi sosial digambarkan lebih ‘nyata’, seperti konflik antara orang kulit putih dan kulit hitam, juga islamophobia.

Sebuah disclaimer, series The Boys tidak cocok untuk anak-anak, bahkan yang bukan anak-anak juga, sebenarnya tontonan ini tidak cocok untuk siapa aja (Bahkan diperingatkan di awal salah satu episode paling ‘bahaya’). Tapi series ini cukup seru, dan jadi alternatif jika saya sedang bosen dengan film-film superhero yang ‘baik-baik terus’.

intro salah satu episode series The Boys

Cara Marvel membawa realitas sosial ke dalam film-filmnya mungkin tepat, terbukti sampai sekarang Marvel masih menjadi yang terlaris disbanding kompetitor lain. Tapi bagi saya, ini saya lho ya, rasanya saya butuh film-film Superhero yang ‘segar’, yang tidak semua hal diceritakan baik, mungkin film superhero yang tokohnya adalah seorang kriminal? Atau seorang yang dikucilkan dari masyarakat? Semua orang berhak berbuat baik, tho? Atau mungkin seorang superhero dari latar budaya tertentu, namun oleh budaya lain dianggap sebagai penjahat atau teroris? Film superhero selalu butuh musuh, kan ya?

Tinggalkan komentar