Bahasa Universal

Mafhum kita ketahui bersama, bahwa semakin kesini populasi kendaraan bermotor tidak mau kalah dengan populasi pengendara itu sendiri, alias manusia.

Meningkatnya populasi kendaraan ini berbanding lurus dengan meningkatnya resiko di jalan raya, oleh karena kendaraan bermotor (manusia yang mengendarai kendaraan bermotor) memiliki kecepatan yang bisa membahayakan manusia yang tidak mengendarai kendaraan bermotor.

Untuk melindungi keselamatan para manusia yang tidak berkendaraan bermotor inilah kemudian muncul istilah hak pejalan kaki, satuan tata aturan yang dimaksudkan agar para manusia yang tdk berkendaraan bermotor tidak kehilangan eksistensinya di jalanan yang kini dikuasai para manusia berkendaraan bermotor, hak pejalan kaki juga dimaksudkan agar para manusia berkendaraan bermotor tidak berlaku semena-mena dan merasa dalane mbahku ketika di jalan.

Di era sekarang, hak pejalan kaki bisa kita maknai sebagai sebuah wacana melawan dominan, karena realitanya populasi orang-orang berkendara jauh lebih banyak daripada para pejalan kaki.

Tapi ada juga hak pengendara motor (termasuk mobil), yang bisa berarti pejalan kaki atau golongan yang sedikit selalu kalah dari yang dominan. Jika menerobos lampu merah dan berkendara di zebra cross adalah bentuk perampasan hak pejalan kaki, maka berjalan kaki nengah-nengah dan menghambat lalu lintas adalah bentuk perampasan hak pengendara motor.

Mengambil hak satu sama lain tampaknya sudah jadi hal yang biasa bahkan menjadi budaya di jalan raya. Menurut saya kebiasaan merampas hak satu sama lain ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kita para manusia modern yang seakan-akan tidak pernah tidak terburu-buru. sehingga untuk menunggu sebentar orang menyeberang atau berjalan tidak di tengah jalan rasanya adalah hal yang buang-buang waktu. Kedua, terbatasnya komunikasi antar kita ketika di jalanan. 

Mobil dan motor memang memberikan kecepatan, tapi teknologi ini merampas kesempatan kita untuk berkomunikasi secara langsung di jalan raya. Tidak mungkin menegur dan berbicara langsung dengan sesama pengendara kendaraan bermotor di tengah  padatnya jalan raya. Selain suara yang kalah kencang dengan deru mesin motor, kaca mobil dan kaca helm menjadi penghalang terjadinya komunikasi secara verbal.

Tapi untungnya manusia pandai, sejak lama kita sudah mengenal teknologi bernama klakson. Sebuah terobosan untuk menggantikan peran gestur dan mulut yang tidak efektif dilakukan di jalan raya.

Semakin banyaknya populasi kendaraan bermotor, semakin sering pula kita mendengar klakson dibunyikan. Mau protes? Tidak nyaman? Tapi mau bagaimana lagi, hanya dengan itulah kita manusia berkendaraan bermotor bisa berkomunikasi. Klakson adalah bahasa universal yang dipahami oleh setiap pengguna jalan.

Tapi bahasa klakson tidak sama dengan bahasa manusia. Hanya memiliki satu kata “Tiinn..!”

Meski ada beberapa kata lain semacam telolet, tapi kata tiin adalah yang paling sering digunakan. Dalam bahasa klakson tidak pernah ada penyelarasan, kita tidak pernah benar-benar mengerti maksud tiin satu dengan tiin yang lainnya. Tapi tetap saja kita masih dan harus menggunakan bahasa klakson, karena belum ada teknologi lain yang efektif.

Membunyikan klakson sebagai bentuk komunikasi tentu bisa kita gunakan sewaktu-waktu. Untuk saling sapa misalnya, disini klakson berfungsi untuk sopan santun, ketika berpapasan, ketika melewati orang atau rumah kenalan kita, klakson sopan santun ini biasa diikuti dengan senyum atau anggukan pengendaranya. Oleh para sopir taksi atau ojek online, atau sopir-sopir di keluarga, klakson kerap dimanfaatkan untuk memanggil penumpang, sebagai alternatif dari membuka jendela dan berteriak. Lain halnya bagi para simpatisan sebuah partai politik atau suporter klub bola, klakson dibunyikan selama konvoi mereka. Oleh karena para peserta konvoi kadang kali lupa bahwa mereka tidak bisa mengontrol volume klakson dan sangat mengganggu apabila dikit-dikit dibunyikan, menjadikan konvoi mereka menjadi euforia kosong alias hanya mbrebeki kuping.

Dalam kehidupan berkendara sehari-hari, kita menemukan penggunaan klakson yang lebih sederhana, yaitu sebagai alat peringatan. Penggunaan klakson yang semacam ini sering diikuti dengan ekspresi marah, dan tidak jarang disertai umpatan para empunya klakson. Untuk klakson yang ini, karena sering kita dengar, kita semacam mengerti artinya. Klakson pendek “Tiin..” bisa berarti “hai, anda menghalangi jalan saya”, klakson sedang “Tiiiin..” bisa berarti “awas!”, dan klakson panjang “Tiiiiiiin!!” menunjukkan sebal dan berarti “Goblok, matamu dimana, bisa naik motor ga sih!”.

Rupa-rupanya, disini klakson telah mengalami perubahan fungsi  makna, yang awalnya digunakan sebagai alarm pemberitahuan, kini klakson menjadi cara mengekspresikan marah dan tidak jarang dimaknai sebagai bentuk arogansi. Hal ini disebabkan oleh ekspresi lanjutan para pengendara motor dan mobil setelah membunyikan klakson dan tentunya karakter suara klakson itu sendiri yang memekakkan telinga. Uniknya, saya baru tahu, ternyata klakson berasal dari bahasa Yunani ‘Klaxo’ yang berarti menjerit. Atau jangan-jangan, banyak orang menjadi mudah marah karena adanya klakson. Teknologi yang satu ini memudahkan kita untuk mengekspresikan kemarahan dan ketidaksabaran,

Setidaknya ada dua kemungkinan yang akan terjadi jika orang-orang diklakson secara demikian. Pertama, orang-orang yang memaknai klakson sebagai bentuk arogansi dan tidak ingin jadi bagian dari mereka yang memamerkan arogansi mereka melalui klakson. Orang-orang ini paham bagaimana rasa jengkelnya diklakson dan berusaha menahan diri agar tidak melakukan hal serupa karena mereka anggap hal itu merugikan orang lain dan dirinya.

Kedua, golongan orang-orang yang diliputi amarah. Jenis orang-orang ini adalah mereka yang memiliki motivasi besar untuk balas dendam. Sekali mereka diklakson (entah karena kesalahan mereka atau murni ketidaksabaran di yang nglakson), di lain kesempatan mereka akan melakukan hal yang serupa.

Dengan semakin cepatnya kendaraan bermotor, dan terasa semakin singaktnya waktu, kini jalanan berubah menjadi tempat publik yang mengerikan. Kemungkinan tidak akan diklakson selama di jalan semakin hari semakin menurun, yang artinya kemungkinan mendapati orang-orang kesal dan marah semakin meningkat. 

Jika memang benar, kini klakson adalah bentuk ekspresi kemarahan. dan klakson mempermudah pengendara kendaraan bermotor untuk jadi orang-orang pemarah, apakah mungkin kita tidak jadi bagian dari mereka? Apakah mungkin kita memperingatkan pejalan kaki atau pengendara motor tanpa klakson? Pakai klakson saja hak pengendara kendaraan bermotor dan hak pejalan kaki belum bisa kita tunaikan dengan benar, apalagi tanpa klakson? Loh, hei! Tujuan penciptaan klakson kan memang sebagai alarm peringatan.

Jalan raya sudah semacam rimba. Mengalahkan atau dikalahkan Bukan lagi yang besar yang menang. Besarnya ukuran bus dan truk sering dijadikan alasan berkendara secara semena-mena, tetapi tidak jarang mobil SUV besar yang harus ngalah dari rombongan pengendara motor, atau rombongan orang 0rang jogging dan pesepada yang tidak mau minggir karena menurut mereka jalan raya adalah milik publik dan bukan hanya milik mereka yang bermesin.

Apalagi kalau sore hari. Jam-jam pulang sekolah dan pulang kerja, (lagian siapa sih yang mengusulkan jam pulang kerja dan pulang sekolah sama?) dimana kesabaran sudah dihabiskan di kantor dan sekolah, dan orang-orang pulang ke rumah membawa mood jelek.

Diam dan bersabar bukan lagi pilihan, dan daripada membuka jendela, teriak-teriak yang menyebabkannya jadi pusat perhatian, manusia modern lebih memilih memanfaatkan teknologi. Duduk manis sambil menekan klakson sampai lega.

Tinggalkan komentar