Membenci Rasa Sedih

Baru-baru ini, media sosial menyadarkan saya bahwa banyak manusia modern hidup dengan menyembunyikan kesedihan mereka. Pun di dunia yang Maha Mental Health ini, dimana self love dan Kesehatan psikis sangat diagung-agungkan, di saat mengunggah status postingan galau menjadi sebuah tren, masih banyak orang yang merasa bersedih adalah hal yang tabu dan memilih untuk menyembunyikannya di hadapan manusia lain.

Saya merasa menjadi bagian dari salah satunya, orang-orang yang berusaha menyembunyikan kesedihan mereka. Sampai akhirnya saya sadar sepetinya saya sudah kelewatan. Saya tidak lagi berusaha menyembunyikan kesedihan, saya membencinya.

Saya cukup sering menanyakan ini pada diri saya sendiri; ‘Hal apa yang paling membuatmu sedih belakangan ini?’, atau ‘Hal tersedih apa yang sudah kamu rasakan sejauh ini?’. Dan saya selalu tidak menemukan jawabannya, beberapa kali memutuskan menjawab tapi selalu berakhir dengan, ‘kayanya hal itu nggak sesedih itu’.

Apakah berarti saya selalu bahagia? Bisa jadi. Wkwkwk… Jika bahagia diartikan dengan bisa memilki segalanya dan bisa tertawa lepas tanpa beban, berarti tidak. Tapi jika bahagia berarti merasa cukup dengan apa yang saya punya, saya rasa iya. Saya bahagia. Sudah cukup lama saya mengubah standar bahagia dalam hidup saya. Bagi saya, bahagia tak lagi harus memiliki semuanya dan bisa tertawa lepas tanpa beban. Selama saya masih bisa melakukan apa yang saya mau di hari itu, masih bisa memberi untuk orang lain, masih menemukan ide untuk menulis dan menggambar (saya jatuh cinta dengan ide), seberat apapun masalahnya, saya merasa hidup saya baik-baik saja.

Apakah karena itu (meluaskan standar bahagia) menjadikan saya lebih sedikit bersedih? Bisa jadi. Semakin kesini saya jadi merespon semua hal yang terjadi dengan cara yang tidak berlebihan. Kecewa secukupnya dan senang sewajarnya. Tapi yang pasti saya menyadari perasaan ini, perasaan membenci rasa sedih.

Saya mengharamkan diri saya untuk menangis, terlebih di depan orang lain. Mata saya masih kadang -tidak selalu- berkaca-kaca ketika menerima fenomena yang cukup menyedihkan, tapi jika menangis sampai keluar air mata bahkan sesenggukan, terakhir kali saya lakukan tahun 2019. Kelas 3 SMA, ketika secara tiba-tiba sahabat saya pindah sekolah, padahal waktu studi kami hanya menyisakan beberapa bulan. Mungkin setelah itu saya masih menangis sekali lagi, tapi seingat saya tidak sedahsyat ketika SMA.

Ada masanya saya sangat ingin bisa mudah menangis, ketika itu saya berpikir mungkin dengan menangis saya bisa merasa lebih lega. Saya mencobanya, merespon pengalaman-pengalaman buruk dengan berlebihan, tapi tidak berhasil. Saya tetap sulit meneteskan air mata. Saya pun lelah dan mengambil jalan pintas dengan menarik kesimpulan: mungkin rasa lega setelah menangis tidak diperuntukkan bagi semua orang, termasuk saya. Atau mungkin hati saya yang sudah sekeras itu?

Semua ini ada kaitannya dengan bagaimana saya dibesarkan. Saya tumbuh menjadi anak yang tidak boleh aleman, harus bisa bersaing dan mengerjakan semua hal, bertanggung jawab atas semua pekerjaan rumah, dan harus bisa diandalkan. Semua itu tidak bisa saya lakukan kalau saya bukan orang yang kuat, atau setidaknya terlihat kuat di depan orang lain. Seperti kebanyakan orang yang menganggap menangis adalah salah satu ciri kelemahan, saya juga tidak ingin terlihat lemah. Saya nyaman dengan hal itu, dengan bagaimana saya dibentuk dan dibesarkan, dengan bagaimana diri saya sekarang.

Tenyata hal itu terbawa sampai sekarang. Kesadaran bahwa saya membenci rasa sedih ini belum lama munculnya, puncaknya ketika saya selesai menonton film di bioskop tahun lalu. Film drama keluarga. Di akhir film, ketika penonton lain menangis terharu dan tersenyum puas, saya justru merasa tidak nyaman dengan perasaan saya sendiri. Saya merasa relate dengan film tadi dan saya tidak suka perasaan itu ada dalam diri saya. Diperjalanan keluar bioskop, saya sampai memukul-mukul dada saya, berharap bisa mengusir perasaan haru dan sedih yang hinggap. Setelah saya ingat-ingat, saya cukup sering melakukannya; merasa tidak nyaman dengan perasaan haru dan sedih, termasuk perasaan relate dengan sebuah film. Saya selalu penasaran dengan film-film laris bergenre drama, semacam Nanti Kita Cerita Tentang Hari ini, dan sejenisnya, tapi ketika sadar film-film semacam itu akan menghadirkan rasa haru saya urung menontonnya. Sampai tulisan ini dibuat belum ada satu film atau bacaan yang berhasil membuat saya menangis.

Saya benar-benar membenci rasa sedih. Untuk diri saya sendiri dan orang lain, apalagi orang-orang yang saya sayang. Saya tidak suka dan tidak pernah siap menerima fakta ketika mereka (orang-orang kesayangan saya) sedang bersedih. Saya jadi orang yang jarang membahas (bahkan menghindar) masalah dengan orang lain, baik masalah saya dan masalah mereka. Hanya karena saya tidak ingin merasakan kesedihan. Saya bukan orang yang tepat untuk diajak curhat dan deep talk.

Apakah saya bangga dengan hal ini? Saya jadi merasa kuat? Jantan? Dan tangguh? Tidak juga. Ketika saya tidak merasa sedih di situasi yang seharusnya saya bersedih, saya berpikir saya sedang tidak utuh menjadi seorang manusia. Sedih dan kecewa tentu jadi salah satu syarat menjadi manusia yang kaffah. Apakah saya nyaman? Terkadang iya. Tidak mudah bersedih dan menangis membuat saya bisa mengalokasikan energi dan emosi saya untuk hal-hal yang lain. Di sisi lain, saya merasa beruntung bisa menyalurkan ekspresi saya melalui menulis. Tapi sesekali, tidak mudah bersedih menjadikan saya merasa kosong, Wkwkwk…

Saya bisa menangis, saya bisa bersedih, tapi saya membencinya dan berharap tidak pernah merasakannya. Ketika saya terus-terusan memelihara perasaan ini, jika bukan menjadi manusia, lantas saya sedang berusaha menjadi diri saya yang jenis apa? Alien? Lionel Messi saja menangis. Zombie? Bisa jadi.

Saya membenci rasa sedih. Dan itu membuat saya menjadi manusia yang bukan manusia.

Tinggalkan komentar