Sindrom Piriformis

Ketika tahun lalu saya bertekad pada diri saya sendiri, bahwa tahun ini saya harus belajar banyak hal baru, bukan ini yang saya bayangkan. Awalnya saya bertekad mempelajari dan mencoba hal-hal baru yang berkaitan dengan minat saya. Dan memang, saya belajar banyak hal baru soal minat saya, menulis dan memotret salah duanya. Tetapi, saya juga belajar dan merasakan hal baru yang tidak saya kira sebelumnya.

Hal itu adalah kesehatan dan kondisi tubuh saya. Jika teman-teman lupa, sejak 2019, kesehatan menjadi hal yang cukup saya perhatikan. Awalnya karena saya harus rawat inap di rumah sakit karena penyakit tipes. Beberapa tahun berikutnya, saya sempat kembali masuk rumah sakit, lagi-lagi karena tipes, ditambah saya divonis dokter menderita bronkitis. Cerita saya soal bronkitis bisa dibaca di sini.

Tahun ini, saya mengikuti tren teman-teman saya melakukan olahraga lari. Saya bukan belum pernah berlari. Pernah. Beberapa kali. Tetapi tidak pernah serius, hanya sekadar selingan dan pemanasan ketika mau melakukan olahraga basket atau futsal. Mulai tahun ini, karena teman-teman saya banyak berlari, dan sejak pandemi olahraga ini juga menjadi tren baru, saya akhirnya ikut-ikutan berlari.

Dari situlah akhirnya ketahuan seberapa kuat daya tahan tubuh saya. Ketika main basket dan futsal, kita juga berlari, tetapi tidak sepanjang dan selama jika melakukan olahraga lari itu sendiri. Daya tahan nafas saya juga akhirnya bisa diukur lewat berlari. Saya merasa lemah, pertama kali lari sejauh 5 kilometer saya terengah-engah luar biasa. Mungkin ada hubungannya dengan kondisi pernafasan saya (bronkitis dan saya mudah sekali batuk).

Perlahan saya mulai menekuni olahraga lari. Awalnya saya selalu mengatakan, olahraga paling menyenangkan adalah yang bentuknya permainan beregu; basket, sepak bola. voli. Olahraga yang hanya dilakukan secara individu membosankan. Tapi persepsi itu berubah ketika saya mengikuti teman-teman saya berlari. Berlari sendirian memberikan saya waktu untuk merenung dan merefleksikan banyak hal, dan itu sangat menyenangkan.

Teman-teman saya sudah lebih dulu menekuni olahraga lari. Bahkan seorang teman sudah beberapa kali mengikuti race. Salahnya saya adalah, saya merasa bisa mengimbangi atau minimal mengejar teman-teman saya. Padahal belum genap setahun saya berlari.

Saya mencoba sering berlari. Ketika teman-teman saya sudah rutin berlari, saya mencontoh rutinitas mereka. Ketika mereka sudah berlari dalam jarak yang cukup jauh, saya pun mendorong diri saya untuk melakukan hal serupa. 

Belum berhasil saya membangun rutinitas berlari, bersama teman-teman yang sama, kami melakukan olahraga renang. Seumur hidup saya belum pernah berenang dalam rangka olahraga, semuanya untuk bermain dan bersenang-senang. keceh. Lagi-lagi, karena merasa bisa dan tidak ingin tertinggal dari teman-teman yang lain, saya menekuni renang. Saya meningkatkan kemampuan saya berenang agar tidak tertinggal jauh dari teman-teman. Sambil tetap mengusahakan kemampuan berlari saya.

Porsi olahraga yang banyak, ditambah pengetahuan yang minim memunculkan masalah pada saya. Tidak cukup hanya dengan berolahraga. Saya juga mencoba melakukan diet. Intermittent fasting. Berada di tengah lingkar pertemanan yang hobi berolahraga, mendorong saya tidak hanya untuk meningkatkan kemampuan fisik ketika berolahraga tapi juga keseluruhan. Disinilah letak saya belajar banyak hal. Berkat semua olahraga yang saya lakukan ditambah diet yang ngawur, akhirnya saya tumbang. 

Dalam setahun ini saya beberapa kali harus istirahat total karena mengalami lelah yang luar biasa. Bahkan saya sempat terserang vertigo (cerita soal vertigo bisa dibaca di sini), dan yang terbaru, saya menderita sindrom piriformis. Nyeri atau mati rasa di bokong, pinggul, atau kaki bagian atas.

Sindrom ini terjadi ketika otot piriformis mengalami peradangan, lalu menekan saraf skiatik. Saraf tersebut membentang dari sumsum tulang belakang sampai ke bokong dan tungkai. Jika teman-teman penasaran bagaimana rasanya. Yang saya rasakan adalah nyeri dan ngilu di sekujur kaki, yang titik nyerinya ada di bokong atau pinggul belakang. Terparah, jangankan mengangkat kaki, menunduk saja saya merasakan ngilu. Hal ini bisa terjadi karena mengangkat beban berat, olahraga berlebihan, dan terlalu lama duduk. 

Olahraga berlebihan. Saya rasa itu penyebab saya menderita sindrom piriformis. Ditambah lagi mungkin kurangnya pemanasan, atau bisa juga kesalahan dalam cara berlari dan berenang. Jika ditanya ‘hal baru apa yang saya pelajari di tahun ini?’. Jawabannya adalah sindrom ini. Hal-hal baru yang saya coba adalah penyakit-penyakit baru. Wkwkwk…

Berkat ini semua akhirnya saya mencoba berbagai macam pengobatan. Dari pijat tradisional, Kiropraktik (pijat kretek-kretek), fisioterapi, yang menggunakan jarum-jarum kecil selama prosesnya, dan juga (mungkin ini tidak ada kaitannya) gurah. 

Dari pengobatan-pengobatan itu saya akhirnya mendapat sedikit pengetahuan soal kondisi tubuh. Bagaimana sebaiknya kita beraktivitas dan berolahraga. Saya jadi merasa lebih berhati-hati, terutama soal bergerak. Tidak hanya itu, saya juga merasa semakin peka terhadap ‘sinyal-sinyal’ yang diberikan tubuh saya. Ketika terasa akan demam dan radang, saya tidak lagi memaksakan diri beraktifitas keluar rumah dan memilih menghabiskan waktu di rumah.

Ketika tulisan ini ditulis, saya sedang dalam masa pemulihan piriformis saya. Fisioterapis yang saya datangi, menyarankan saya untuk tidak melakukan olahraga berat dulu selama sepekan atau dua pekan. Tidak ada hal yang lebih menyebalkan bagi seorang yang suka berolahraga selain dipaksa istirahat. Termasuk saya. Saya patuhi perkataan fisioterapis, tapi tidak sepenuhnya. Saya memang tidak berlari, tapi saya berjalan. Dan saya meningkatkan jarak jalan saya. Saya masih cukup ngeyel. Sakit? Kadang-kadang. Terutama ketika malam hari.

Saya juga ingin kuat berlari maraton seperti teman-teman saya. Walaupun belum bisa berlari sekuat mereka, berjalan 5-10 km dua kali sehari, sepertinya tidak ada salahnya. Wkwkwk…

Tinggalkan komentar