Merdeka dari Informasi

Dulu, jauh sebelum aku lahir bahkan sebelum pandemi ini terjadi, di abad ke-18, antara tahun 1811-1816, ada sekelompok pekerja tekstil di Inggris yang melakukan protes dengan menghancurkan mesin-mesin penenun, yang kemudian mereka dikenal dengan sebutan kaum Luddites. Diambil dari nama salah satu pentolan aksi massa tersebut, Ned Ludd. Mereka merusak banyak peralatan model baru, alat tenun mekanis yang akan membuat mereka, para pekerja tadi kehilangan pekerjaan mereka.

Sekarang, istilah Luddite dalam Bahasa Inggris digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang anti terhadap kemajuan atau teknologi baru.

Apakah para Luddite masih ada sampai saat ini? Gatau. Apa masih ada orang-orang yang kehilangan pekerjaan karena majunya teknologi? Ada. Banyak.

Ngomong-ngomong soal teknologi, apakah kalian semua tidak bosan dengan segala hal yang virtual? Sekolah harus virtual, kerja harus virtual, seminar virtual, kajian virtual, konser musik virtual, olahraga juga ada beberapa yang virtual. Aku kasihan sama adek, tadi pagi harus di potret sedang melakukan sholat Dhuha sebagai bukti sudah melakukan tugas dari sekolah.

Mungkin awalnya bagi sebagian orang, serba virtual ini jadi momen istirahat. Bagi yang ke kantor setiap pagi, bagi yang kuliah seharian. Kapan lagi bisa nyelesein semua tugas dari rumah dan nggak kemana-mana.

Tapi lama-lama jenuh juga kan?

Kalau aku, jujur dari awal emang nggak nganggep keadaan virtual ini sebagai momen untuk break. Walaupun ya seneng juga karena nggak harus mandi pagi dan repot-repot ngeluarin motor dari garasi tiap pagi. Tapi, aku juga nggak suka kuliah online, virtual. Walaupun sama-sama males, seenggaknya kuliah secara tatap muka lebih kerasa ‘ngapa-ngapainnya’ wkwkwk…

Karena pandemi ini aku jadi makin skeptis sama media sosial. Karena dulu awalnya menganggap dunia maya itu ya maya, palsu, tempatnya hal-hal nggak nyata. Isinya cuma bercanda. Terus kemudian ada keadaan yang memaksa kita memindahkan dunia nyata ke dunia maya.

Bayangkan, ruang kelas yang harusnya 15 x 8m misalnya, harus pindah ke grup WhatsApp, dimana semua orang bisa bebas bicara tanpa harus angkat tangan dulu. Belum selesai baca yang ini, udah nambah lagi. Baru baca materi, udah baik bu baik bu. Baik su!

Yang sebelumnya buka hp kalau cuma mau, sekarang mau nggak mau harus buka hp. Yang awalnya buka hp cuma lihat jam, main Twitter, buka YouTube, sekarang mau males kuliah aja nggak bisa, kita nggak dateng ke kelas, kelasnya yang datengin kita.

Apalagi keadaan yang memaksa kita untuk di rumah aja otomatis kita lebih sering berinteraksi dengan internet dan media sosial. Nggak bisa kita nggak ngapa-ngapain, mesti buka hp. Bosen dikit buka hp. Lama-lama nggak bisa jauh dari media sosial, kita jadi kecanduan, rasa-rasanya susah sehari menikmati bosan tanpa harus berselancar di internet. Candu.

Candu tapi mungkin kita nggak ngerasa. Tiap habis selese buka WhatsApp otomatis tangan kita buka aplikasi Twitter, selese scroll Twitter pindah ke YouTube, pindah lagi kemana, gituuu teruss.

Candu tapi mungkin kita nggak ngerasa. Kita nggak mau ketinggalan video baru dari konten kreator favorit kita, nggak mau ketinggalan berita terbaru artis idola kita, nggak mau kelewatan trailer film yang ditunggu-tunggu, nggak mau nggak mau ketinggalan postingan temen-temen, nggak mau ketinggalan opini-opini orang lain, nggak mau ketinggalan jokes-jokes dan video lucu terbaru di Twitter. Sadar nggak sadar kita kecanduan sama informasi. Lucunya, informasi yang dulu harus kita cari, sekarang nggak perlu susah-susah nyari, semua ada di depan mata setiap bangun pagi sampe mau tidur lagi. Lucunya lagi, kita kecanduan informasi, yaitu produk buatan manusia, buatan kita sendiri.

Sumpek. Aku ngerasa sumpek setiap hari harus hidup di dunia yang serba virtual dan setiap saat dibombardir informasi. Aku ngerasa nggak bebas. Seakan-akan terpaksa, mau nggak mau harus mengakses semua informasi. Ya kalau nggak buka hp mau ngapain? Aku nggak merdeka dari informasi.

Apa aku seorang Luddite, orang-orang yang benci dengan kemajuan teknologi? Nggak juga. Apa aku kehilangan pekerjaan karena hadirnya teknologi-teknologi baru? Enggak. Bahkan aku belum kerja. Masih tanggungan orang tua. Masih anak Mama. Masih minum susu kalau mau tidur. Siang makan nasi kalo malem minum susu, kan? Tapi apakah kemudian aku nggak sreg sama kemajuan teknologi? Ya. Ada masalah.

Kurt Vonnegut, penulis asal Amerika pernah menulis essay berjudul “I Have Been Called a Luddite” yang diterbitkan tahun 2005 dalam sebuah buku kumpulan esai berjudul “A Man Without A Country”, dia pernah bilang kalau dia pernah dipanggil Luddite karena kebiasaannya yang lebih memilih cara-cara tradisional.

Kurt bercerita kalau dia masih mengirim surat melalui pos (di jaman itu komputer sudah ada). Kurt mengirim naskah tulisannya kepada temannya yang seorang juru ketik, membeli amplop sendiri, dan mengantarkannya ke kantor pos sendiri juga.

Dalam esainya itu, Kurt bercerita hal-hal apa saja yang ia temukan dalam perjalanan mengirim sebuah naskah dan betapa menyenangkannya hal itu. Gimana dia harus antri di toko untuk membeli amplop, ngobrol sama orang-orang di antrean lontre, bertanya soal cuaca ke pemilik toko, ia bercerita bagaimana cara menutup amplop, kemudian melanjutkan perjalanan ke kantor pos yang letaknya deket sama kantor PBB -yang kata dia berisi orang-orang lucu dari seluruh penjuru dunia-, kemudian bagaimana dia diam-diam menaruh hati pada seorang wanita di belakang meja kasir, sampai perjalanannya pulang ke rumah.

Di paragraf terakhir, Kurt menulis closing statement yang menarik.

Masyarakat elektronik tidak membangun apa pun. Anda berakhir dengan tidak memiliki apa-apa. Kita adalah binatang yang menari. Betapa indahnya untuk bangun dan melakukan sesuatu. (Bangun dan melakukan tarian Jig)

On being called a Luddite: Oh, I welcome it.”

Oiya soal teknologi juga, bulan lalu aku membeli sebuah Walkman, alat pemutar kaset tape tahun 70-90an. Merk Sony jenis WM-FX 199 rilisan tahun 1999. Awalnya atas dasar iseng dan penasaran. Tapi kemudian aku kepikiran buat mengoleksi kaset tape. Sampai sekarang aku punya 3 kaset, semuanya album Oasis. Sejauh ini dapet kasetnya dari online shop, walkmannya juga dapet dari orang yang masang iklan di Instagram, yang selanjutnya kami COD di Indomaret samping RS Kasih Ibu wkwkwkw…  Tapi sebelumnya aku sempet blusukan ke toko-toko kaset sama ke Pasar Ngarsopuro buat cari-cari.

Walaupun nggak setiap saat aku dengerin musik dari walkman, tapi seru rasanya merasakan pengalaman mendengarkan musik yang nggak sesimpel sekarang, buka Spotify dan ketik judul lagu yang ingin dimainkan. Pertama harus masukin kaset ke walkman, muter-muter kaset kalau butuh, ganti lagunya nggak gampang, harus klik reverse dan nunggu pitanya muter dulu, belum lagi suara kresek-kresek. Menyenangkan kok.

Beberapa waktu lalu aku kepikiran buat ke Bank dan mengaktifkan layanan M-banking, tapi kayaknya sekarang nggak aja deh. Daripada bayar-bayar dan transfer efisien dari hp, kayaknya lebih seru kalau malem-malem ke Indomaret, antri dibelakang driver gojek, ngobrol sama mbak-mbak kasir, terus duduk di kursi di teras Indomaret sambil minum air putih sambil liat kendaraan lalu lalang. Atau siang-siang panas ke ATM, antri dibelakang ibu-ibu bareng anaknya, terus pas giliran masuk ngadem dulu di bilik ATM. wkwkwk…

Akhirnya aku sadar, majunya teknologi memungkinkan kita untuk menjangkau banyak hal, sekaligus melewatkan banyak hal lainnya.

3 tanggapan untuk “Merdeka dari Informasi

Tinggalkan komentar